Senin, April 27, 2009
DOA HAMBA
Doa Yang Indah
Ya Allah...
sesungguhnya aku memohon kepadaMu segala yang mewajibkan rahmatMu
dan segala yang meneguhkan keampunanMu
dan keselamatan dari segala dosa
dan mendapat keuntungan dari segala kebajikan.
Janganlah Engkau tinggalkan dosa padaku kecuali Engkau mengampuninya
dan tidak ada kegelisahanku kecuali Engkau menghilangkannya
dan tiada kesusahan tanpa Engkau melapangkannya
dan tak ada kemelaratan kecuali Engkau lenyapkan dia
dan tak ada sesuatu hajat yang Engkau ridhai kecuali Engkau memberikannya.
Wahai Yang Maha Rahim...
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ya Allah...
sesungguhnya aku memohon kepadaMu akan keteguhan dalam segala urusanku
dan aku mohon pada Mu akan ketetapan hati
dan aku memohon kepadaMu untuk mensyukuri nikmatMu dan perbaikilah aku dalam beribadah kepadaMu
dan aku memohon kepadaMu lidah yang benar, hati yang selamat, akhlak yang lurus
dan aku berlindung kepadaMu dari kejahatan yang Engkau ketahui dan aku memohon kepadaMu akan kebaikan yang Engkau ketahui
dan aku memohon ampun dari apa yang Engkau ketahui
Sesungguhnya Engkau Maha Megetahui yang ghaib ...Amin..
(Hr. an-Nasa'i)
Ya Allah... sesungguhnya aku memohon padaMu nikmat yang kekal yang tiada berpindah dan hilang
Ya Allah... sesungguhnya aku memohon padaMu keamanan pada hari ketakutan
Ya Allah... aku berlindung kepadaMu dari kejahatan yang diberikan dan dari kejahatan yang tiada diberikan kepadaku....Amin...
Ya Allah berilah kami rasa takut kepadaMu yang dapat menghalangi kami dari maksiat kepadaMu
dan berilah kami kepatuhan yang dapat menyampaikan kami kepada surgaMu
dan berilah kami keyakinan yang dapat memudahkan kami menghadapi musibah dunia
dan berilah kami kenikmatan dengan pendengaran kami, penglihatan kami, kekuatan kami selama Engkau menghidupi kami.
Jadikanlah bala kami hanya menimpa orang yang zalim kepada kami.
Dan tolonglah kami untuk menghadapi orang yang memusuhi kami
dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam hal agama kami
dan janganlah Engkau jadikan dunia sesuatu yang kami gandrungi dari tujuan akhir ilmu kami
dan janganlah Engkau beri kekuasaan kepada orang yang tidak menyayangi kami.
Aminn....
(Hr. at-Tirmidzi)
Ya Allah...
sesungguhnya Engkau telah meminta dariku sesuatu yang tidak aku miliki kecuali dengan pertolonganMu maka berilah aku dari padanya sesuatu yang Engkau ridhai
Ya Allah...
aku memohon iman yang kekal kepadaMu dan aku memohon padaMu hati yang khusyu
dan aku memohon padaMu keyakinan agama yang benar
dan aku memohon padaMu agama yang lurus
Aku mohon padaMu akan kesembuhan/kesehatan yang sempurna, yang kekal
dan aku memohon padaMu akan kesiapan bersyukur atas afiyah
Dan aku memohon kecukupan dari manusia padaMu
Amiin...
Ya Allah Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari sifat penakut
dan aku berlindung daripada mencapai umur yang seburuk-buruknya
dan aku berlindung dengan Engkau dari fitnah dunia dan siksa kubur
Amin...
(HR. Bukhari dan at Tarmidzi)
Ya Allah kamitidak bisa memenuhi kewajiban yang Engkau berikan kepada kami, kecuali bila kami mendapat pertolonganMU untuk melakukanya. Maka bimbinglah kami agar mampu memenuhi kewajiban itu. Kami tidak akan bisa melindungi diri dari keterjerumusan pada laranganMU kecuali dengan pemeliharaanMU. Maka peliharalah kami dari keterjererumusan pada laranganMU itu. Tak ada sandaran yang bisa kami handalkan kecuali kepadaMU. Kasihilah kami dengan kasih sayang Yang Maha Pengasih. Ridhailah kepada kami keridhaan yang menjadikan kami tidak mendapatkan murkaMU sama sekali.
Ya Allah, cahayakanlah penglihatankami dengan cahaya petunjukMU, agar kami bisa melihat dengan tajam dan dapat mengambil pelajaran dari berbagai keajaiban dan keluarbiasaan ciptaanMU yang kami lihat. Sungguh banyak keindahan yang Engkau hamparkan dari tiupan angin yang kemudian bisa memberi penghidupan. Kamibersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Sebagaimana Engkau tauhidkan DiriMu sendiri dengan segala sifat Yang Maha ada sejak dahulu dan akan datang.
Ya Allah, hauskanlah kami dengan kerinduan berteMU denganMU. Tempatkanlah kami di jalan para waliMU. Berilah kami keputusan yang tidak menyebabkan ketidakberdayaan . Berilah kami kekayaan yang tidak mengenal kefakiran. Pilihlah kebaikan untuk kami dalam semua yang Engkau putuskan.Peliharalah diri kami, keluarga kami, keturunan kami, bapak ibu guru kami, sahabat dan teman teman kami yang ada dalam mejelis ini, dan seluruh umat Islam dari semua yang membawa keburukan kepada kami dan mereka.
Jadikanlah kami, melalui semua ketaatankami kepadaMU, termasuk orang orang mendekat kepadaMU.
Jadikanlah kami, melalui amalan amalan dan ketaatan kami kepadaMU, termasuk orang orang yang sangat menginginkan pahala dariMU dan apa yang Engkau sediakan untuk para waliMu.
Ya Allah, Ya Rahman Ya rakhim
Pada siang hari ini, seluruh siswa kelas XII SMAN 6 yogyakarta berkumpul dan bermunajad kehadiratmu, memohon petunjuk dan hidayahmu dalam rangka menghadapi Ujian nasional, Ujian Sekolah dan Ujian masuk perguruan tinggi.
Ya Allah, keluarkanlah kami dari gelapnya pikiran dan mudahkanlah kami menerima cahaya ilmu dan kefahaman. Bukakanlah pengertian ilmu pada kami, dan bukakanlah untuk kami pintu pintu anugerahmu menuju kesusksesan.
Ya Allah, sesungguhnya kami memperoleh dariMu ilmu ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku melalui bapak ibu guru, bukakanlah matahatiku sewaktu kami memerlukan dan janganlah engkau lupakan aku dari mengingat ilmu. Ya Allah tambahkanlah ilmu yang bermanfaat kepadaku dan mudahkanlah kami memahaminya.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu ilmu yang berguna, ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat, berilah kami kecerdasan, kemampuan Ketelitian dan tidak tergesa gesa sehingga dapat mengerjakan ujian dengan tenang dan benar.
Ya Allah, lapangkanlah dadaku, besarkanlah hatiku, bersihkanlah pikiranku, dan ringankanlah tanganku sehingga dapat menyelesaikan pekerjaanku dengan kejujuran dan jauh dari kecurangan sehingga membawa nama baik bagi sekolah dan membanggakan bagi kami semua.
Ya Allah, sesungguhnya engkau maha mengetahui lagi maha mendengar, maka berikanlah kami kesehatan badan, jasmani dan rahani, kesehatan jiwa dan semangat untuk bekerja keras memacu belajar, memompa motovasi menuju cita cita lulus ujian dan diterima masuk ke perguruan tinggi dambaan
Ya Allah, Ya Rahman Ya rakhiim, sesungguhnya kami telah banyak berhutang budi kepada bapak ibu guru yang telah mendidik dan membimbing kami dengan sabar dan penuh dedikasi, kami memohon kepadaMu ya Allah agar bapak ibu guru dapat memberikan ilmu kepada kami dengan ikhlas sehingga membawa berkah pada hidup kami, dan diberikan pahala kepada bapak dan ibu guru.
Ya Allah, ya malikul Qudussu salam
Kami yang duduk di majelis ini dan seluruh siswa kelas XII memohon kehadiratmu agar Engkau memberi kami kemudahan,kelapangan,keberhasilan melaksanakan ujian dan membawa suskses menuju kelulusan dengan nilai prestasi tertinggi.
اَللَّهُمَّ اِنِّى اَسْأَ لُكَ عِلْمًا نَا فِعًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً وَرِزْقًا وَاسِعًا وَاِلَى الْخَيْرِ قَرِّبْنَا وَعَنِ الشَّرِ بَعْدِ نَا
رَبَّنَا اَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَثَدًا
اَللَّهُمَّ لاَسَهْلَ اِلاَّ مَاجَعَلْتَهُ سَهْلاُ وَ اَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ اِذَ شِئْتَ سَهْلاً
اَللَّهُمَّ اَلْهِمْنِى رُشْدِيْ وَاَعِذْنِيْ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ
Minggu, April 26, 2009
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKOLOGI
Muh Taflikul Walid
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
PERSPEKTIF AL QUR’AN DAN AL SUNNAH
Oleh : Muh Taflikul Walid
A. PENDAHULUAN
Salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan agama-agama lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai sumber hukum Islam yang asasi, Al Qur’an dan Al Sunnah mengajak umat Islam untuk mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan beserta kearifannya sekaligus menempatkan orang-orang yang berpengatahuan luas lagi beriman pada derajat yang tinggi. Dalam kitab-kitab suci non Islam (yang ada lebih dahulu dari din al Islam) tidak ditemukan kata-kata seperti akal, fikiran, pandangan atau argumentasi, ilmu, hikmah, atau apa saja yang semisal, atau yang menjadi bagian atau yang dekat sedikit saja dengan kata-kata tersebut. Beberapa ayat Al Qur’an dan Al Sunnah yang relevan akan disebutkan di dalam pembahasan masalah ini.
Ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab sinonim dengan kata al ‘ilmu. Di dalam Al Qur’an, mufradat atau kosa kata tersebut beserta kata-kata jadiannya sangat banyak kita jumpai yang digunakan lebih dari 780 kali. Wahyu yang pertama kali turunpun menyebutkan pentingnya membaca (bisa bermakna melihat, memperhatikan, mengamati atau observasi, meneliti atau riset dan lainnya) agar manusia bisa menjadi genius yang sebelumnya ia tidak mengetahuinya.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ ﴿٣﴾ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾ عَلَّمَ الإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. Al ‘Alaq: 1-5)
Artinya, seorang muslim tidak dibenarkan hidup dalam keadaan tidak berilmu. Rasulpun member motivasi bagi orang yang tidak berilmu pengetahuan hendaklah ia selalu belajar (menuntut ilmu), yang tidak berkesempatan belajar hendaklah ia berupaya menjadi mustami’ (pendengar setia), atau kalau tidak hendaknya ia menjadi pencinta ilmu dan pencinta orang yang berilmu; tetapi jangan sampai ia menjadi pembenci ilmu dan pembenci orang yang berilmu karena berakibat kebinasaan baginya.
Masalah klasik yang dihadapi umat Islam adalah tentang dikotomi ilmu agama dan ilmu umum sehingga muncul justifikasi tentang hukum menuntut ilmu bagi keduanya yang kurang proporsional. Padahal keduanya (ilmu agama dan ilmu umum) sebenarnya tidak dibedakan karena keduanya bagian dari Islam. Sekarang adalah mengupayakan tertujunya cita-cita kepada kesatupaduan ilmu-ilmu qur’ani dan kauni sehingga keadaan paradoksal bahwa kaum muslimin masih ketinggalan dalam sains dan teknologi dapat segera diakhiri.
Menurut Islam, ruang lingkup ilmu ada 3 (tiga), yaitu aspek metafisika (dibawa oleh wahyu; al ‘ulum al a’la), aspek humaniora, dan aspek material (semua ilmu yang dibangun atas dasar observasi dan eksperimentasi; aspek yang ditekuni orang-orang non Islam sekarang). Islam sebagai ilmu mesti tidak boleh diabaikan oleh penganutnya sehingga akan mampu mengangkat eksistensinya sebagaimana masa silam (era Abbasiyah).
Umat Islam pada masa lalu benar-benar mampu menangkap pesan moral al-Qur'an, sehingga mereka mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang belum pernah terpikirkan oleh peradaban sebelumnya. Mereka mampu menemukan, sesuatu yang disebut oleh Nurcholish Madjid sebagai inner dynamics al-Qur'an. Dorongan keilmuan mereka bukanlah hukum-hukum tekstual dalam al-Qur'an, melainkan suatu pemaknaan dinamis terhadap ajaran Islam yang terdapat di dalam al-Qur'an sebagai etika keilmuan Islam. Kejayaan IPTEK Islam masa lalu tersebut dapat dilihat dari berbagai karya keilmuan umat Islam masa lalu.
Ironinya adalah bahwa negara-negara Islam dan yang berpenduduk mayoritas muslim berada pada barisan terdepan negara buta IPTEK. Kondisi memprihatinkan ini dapat dilihat dari kelompok negara yang menamakan dirinya E-9, yakni Banglades, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan, yang dapat disebut sebagai representasi dunia Islam (selain Brasil, China, dan Meksiko). Faktanya, di negara-negara tersebut ada sekitar setengah milyar orang yang buta aksara.
Berdasarkan fakta dan data di atas, muncul pertanyaan mendasar menyangkut posisi teknologi dalam Islam. Untuk menjawab persoalan tersebut, makalah ini mencoba menghadirkan diskursus IPTEK dalam perspektif Al Qur’an dan Al Sunnah, baik secara normatif, melalui teks al-Qur'an dan hadis, maupun secara historis, dengan melihat sejarah perkembangan IPTEK di dunia Islam.
Adapun masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1. Bagaimana pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan dan teknologi ?
2. Mengapa Islam berperan dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi ?
3. Bagaimana perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia Islam ?
B. PEMBAHASAN
1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Islam
a. Pengertian
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur'an. Dari ratusan kata tersebut, menurut Quraisy Shihab, ada dua macam ilmu yang diisyaratkan di dalamnya. Pertama, Ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, seperti diinformasikan dalam Q.S. al-Kahfi: 65. Ilmu ini dikenal dengan ilmu laduni. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia. Ilmu ini disebut dengan ilmu kasbi. Jumlah ayat-ayat yang berbicara tentang ilmu kasbi lebih banyak dari pada ilmu laduni. Berdasarkan pembagian ilmu tersebut, secara garis besar obyek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yakni alam non materi dan alam materi. Ada tata cara dan sarana tertentu yang dapat digunakan manusia dalam memperoleh pengetahuan dari dua obyek tersebut. Melalui penafsiran terhadap Q.S. al-Nahl: 78, Quraish Shihab menyebutkan bahwa sarana untuk memperoleh pengetahuan tersebut berupa indera pendengaran dan penglihatan, akal, serta hati. Indera dan akal dapat dikembangkan dengan metode trial and error, pengamatan, percobaan, dan tes-tes probabilitas untuk mendapatkan ilmu kasbi. Adapun hati dikembangkan dengan metode tazkiyat an-nafs guna memperoleh ilmu laduni.
Filsafat ilmu modern memiliki perspektif yang berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan di atas. Penggunaan kata ilmu dan atau pengetahuan, dalam perspektif filsafat ilmu modern, mengacu pada dua makna. Pertama, ilmu pengetahuan dalam pengertian yang umum (scince in general). Kedua, ilmu pengetahuan dalam arti systematic knowledge. Secara umum ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui sumber-sumber pengetahuan. Sumber-sumber tersebut dapat berupa rasio, pengalaman, intuisi dan wahyu. Ilmu pengetahuan dalam arti systematic knowledge memiliki kriteria khusus, yakni berobyek (empirik), bermetode (ilmiah), bersistem (sistematis) dan bernilai universal. Kriteria khusus inilah yang menjadi parameter keilmiahan suatu ilmu pengetahuan yang kemudian, setelah revolusi industri, dikenal dengan ilmu modern.
Berdasarkan sudut pandang ini, konsep ilmu sebagaimana yang disampaikan oleh Quraish Shihab di atas, termasuk ke dalam pengertian ilmu dalam arti umum. Dalam sudut pandang filsafat ilmu modern, konsep ilmu tersebut belum dapat disebut sebagai ilmu dalam arti systematic knowledge, sebagaimana paradigma ilmu modern. Konsep tersebut baru sebatas pengetahuan umum atau pre-scientific. Penyebabnya adalah karena paradigma ilmu modern memiliki parameter khusus, yakni obyek yang empirik, tata kerja yang sistematis, dan bersifat universal. Sedangkan konsep ilmu dari Quraish Shihab, obyeknya materi dan non materi, metodologinya spekulatif, dan hanya berlaku dalam perspektif Islam saja.
Adapun kata teknologi, memiliki lebih dari satu definisi. Menurut Ensiklopedi Bebas Wikipedia, teknologi diartikan sebagai pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Dalam kamus Oxford, teknologi diartikan sebagai "the scientific study and use applied sciences". Sedangkan WordNet Dictionary, mengartikan teknologi sebagai, “the practical application of science to commerce or industry/ the discipline dealing with the art or science of applying scientific knowledge to practical problems.”
Muhammad Nuh menggambarkan definisi teknologi dengan empat esensi yang terkandung di dalamnya. Empat esensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berakhir, keberadaan teknologi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia.
2. Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat artificial.
3. Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of means), sehingga teknologi dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudtit pandang analisis.
4. Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi human endeavor (ikhtiar manusia). Sehingga teknologi harus mampu merungkatkan performansi (kinreja) kemampuan manusia.
Definisi-definisi ini menunjukkan arti bahwa teknologi, sebagaimana ilmu, juga memiliki makna luas dan makna sempit. Secara luas teknologi dapat diartikan sebagai hasil karya manusia, yang sudah ada sejak adanya peradaban manusia, terutama sejak tumbuhnya masyarakat kota pada bangsa Sumeria 5000 tahun yang lalu. Sedangkan secara sempit teknologi dikaitkan sebagai penerapan dari ilmu pengetahuan yang berkembang pasca revolusi industri, atau yang dikenal dengan teknologimodern.
Teknologi mempunyai pengertian himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains dalam kerangka kegiatan yang produktif-ekonomis. Sedangkan Oetarjo Diran memberikan pengertian teknologi sebagai the purposeful application of science to meet human needs or to solve problems. Teknologi merupakan penerapan pengetahuan ilmiah kealaman yang menggunakan ilmu, material dan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
Dengan demikian IPTEK memiliki dua makna, yakni makna umum, berupa IPTEK yang berkembang sebelum revolusi industri, dan khusus, yaitu IPTEK pascarevolusi industri, yang dikenal dengan IPTEK modern. Dua model IPTEK ini memiliki perbedaan yang sangat tajam. Parameter IPTEK modern adalah metode ilmiah. Diterima atau tidaknya suatu IPTEK dilihat dari sesuai tidaknya prosedur kerja yang dilakukan dengan tata kerja metode ilmiah. Sedangkan parameter IPTEK umum lebih bersifat historis dan fungsional. Maksudnya adalah bahwa IPTEK tersebut dinyatakan diterima sebagai IPTEK apabila digunakan secara luas oleh masyarakat di masalampau.
Berdasarkan pengertian ini, IPTEK, dalam perpektif Islam, juga dapat dipetakan menjadi dua macam. Pertama, IPTEK dalam arti umum, yang bisa digali dari tradisi IPTEK umat Islam pada masa lalu. Diskursus IPTEK, dalam arti ini, dapat dicari dari sumber-sumber normatif Islam, yakni al-Qur'an dan hadis, dan literatur-literatur Islam klasik. Kedua, IPTEK dalam arti khusus, sebagai IPTEK modern. Kajian IPTEK ini dalam studi Islam tentunya dapat ditemukan pada literatur-literatur Islam kontemporer yang diproduksi pasca revolusi industri.
b. Tinjauan Al Qur’an DAN Al Sunnah
Abdul Rahman dari Department of Physics Gauhaty University New Delhi India menjelaskan “Allah has asked man repeatedly in about 750 verses the Holy Quran to observe an study different things of natur and also to contemplate or do researchon the law governing them. He has also given hints to make effort for getting benefit from the natural bounties through technology. Allah has given different things of world for the benefitof the people.
Pada tahun 1930-an Syeh Jauhari Thonthowi di dalam tafsirnya al-Jawahir menggugat dengan menyebutkan bahwa ulama menghabiskan waktu, tenaga dan materi hanya untuk urusan fikih dan mengabaikan ayat-ayat kauniyah. Padahal ayat-ayat hokum di dalam al-Quran hanya sekitar 150 ayat sementara ayat kauniah sekitar 750 ayat. Dus, ayat kauniyah lima kali lebih banyak dari ayat hukum.
Ada sebagian orang dengan serampangan berargumen bahwa tidak tumbuh dan berkembangannya sains di dunia Islam disebabkan kemiskinannya. Alasan ini jelas sangat lemah. Tidak sedikit di antara negara-negara Islam memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, sehingga sulit dikatakan negeri muslim sebagai negeri miskin. Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO) pada tahun 2000 melaporkan, sebanyak 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI memiliki sekitar 1,1 miliar penduduk atau 20 persen penduduk dunia mendiami wilayah seluas 26,6 juta kilometer persegi, dan menyimpan sebanyak 73 persen cadangan minyak dunia.
Knowledge is power demikian pernyataan tokoh modernisme Francis Bacon. Amerika, Eropa dan Jepang sampai saat ini menjadi kiblat kemajuan dunia karena sains dan teknologinya. Taiwan dan Korea merupakan dua negeri industri baru sedangkan Cina dan India dikenal luas sebagai kandidat kekuatan pemimpin baru ekonomi dunia dua dasawarsa mendatang. Negara-negara tersebut adalah negara yang mengembangkan sains fundamental dan kemudian terapannya secara konsisten.
Israel negeri yang sangat kecil menjadi sangat digdaya karena kemampuannya dalam sains dan teknologi, 16% pemenang nobel fisika dan kedokteran adalah ilmuwan berdarah Yahudi. Sekitar 200 peluru berhulu ledak nuklir dimiliki oleh negeri ini. Sementara Iran yang baru dikucilkan oleh PBB dengan resolusi 1747 baru bisa membuat satu senjata nuklir sepuluh tahun lagi.
Berikut beberapa contoh ayat Al Qur’an yang bersifat kauniyah :
1) Alam diciptakan dalam enam masa (QS 32:4)
2) Bumi diciptakan dalam dua masa (QS 41:9)
3) Penciptaan tujuh langit dalam dua masa (QS 41:12)
4) Awan dikirim ke bumi yang tandus (QS 32: 27)
5) Teknologi pembuatan baju besi dikuasi nabi Daud as (QS 34:10-11)
6) Rekayasa angin dan tembaga cair dikuasai nabi Sulaiman as (QS 34:12)
7) Sains dan rekayasa angin (QS 38:36; 41:16)
8) Dinamika udara dan awan (QS 35:9)
9) Pola air laut (QS 35:12)
10) Kesetimbangan langit dan bumi (QS 35:41)
11) Penciptaan pasangan materi-antimateri (QS 36:36, 42:11)
12) Dinamika benda langit (QS 36:38-40)
13) Perkapalan (QS 36:41-43; 42:33-34)
14) Relasi kapal laut dan gunung (QS 42:32)
15) Pola garis putih, merah dan hitam pekat di antara gunung (QS 35:27)
16) Materi-materi di langit, bumi dan antaranya (QS 42:12).
17) Api dari kayu hijau (QS 36:80)
18) Suluh api (QS 37:10)
19) Rahasia dan kekuatan petir (QS 41:13)
20) Fertilasi tanaman dan manusia (QS 41:47)
Segala sesuatu selain Allah adalah alam—termasuk kita sendiri sebagai subjek yang menyadari keberadaan mereka. Di situ ada daratan, lautan, pegunungan, sungai-sungai, danau-danau, hutan belantara, berbagai binatang, berbagai tanaman dan pepohonan yang tercakup dalam sebuah planet bernama ‘Bumi’. Bumi dikelilingi sebuah satelit alami bernama ‘Bulan’. Selain itu, bumi juga memiliki banyak rekan sejawat: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto dan mungkin ada lagi planet yang belum diketahui, puluhan satelit alami yang mengelilingi mereka, planetoid-planetoid, asteroid-asteroid, komet, meteor, dan debu-debu angkasa. Bumi, bulan, dan mereka semua bersama-sama mengelilingi sebuah bintang sedang dengan sinar yang kekuning-kuningan bernama ‘Matahari’.
Ternyata, matahari juga memiliki rekan sejawat yang demikian banyak, mencapai miliaran jumlahnya. Mereka pun bersama-sama mengelilingi sebuah bintang raksasa di pusatnya. Bintang pusat tersebut diperkirakan besarnya 100.000 kali besar matahari. Mereka membentuk suatu sistem berbentuk cakram yang luar biasa menakjubkan bernama ‘Bimasakti’. Tidak cukup sampai di situ, Bimasakti juga punya rekan-rekan sejawat yang demikian banyak. Mereka bersama-sama mengelilingi sebuah bintang super raksasa di pusat kelompok galaksi. Dan sistem itu juga memiliki rekan-rekan sejawat yang juga sangat banyak. Mereka bersama-sama mengelilingi sebuah bintang hiper raksasa di pusat kelompok sistem itu. Dan tak habis sampai di situ, ternyata mereka juga memiliki rekan sejawat yang juga sangat banyak, dan mereka pun mengelilingi sebuah bintang yang secara fisik lebih besar lagi. Dan demikian seterusnya sampai tujuh kali tingkatan. Ini akan menuntut peralatan eksperimen (teleskop) yang lebih kuat lagi di masa-masa yang akan datang.
Demikianlah sistem semesta yang telah dijelaskan Allah dalam ayat: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 2:29)”.
Hal yang sama akan kita dapatkan kalau kita menilik ke bawah. Fisikawan yang reduksionis meyakini bahwa wujud dan lingkungan kita di Bumi (dan di luar Bumi) tersusun atas unit-unit kecil materi yang disebut partikel elementer. Pada zaman Yunani, Democritus mengklaim bahwa atom adalah partikel elementer yang dimaksud. Misalnya Anda melihat miniatur kastil dari pasir yang dibuat para wisatawan di pinggir pantai Kuta. Apabila Anda memandangnya dari jauh, seolah-olah ia terlihat padat, kokoh, dan tak bercelah. Tapi apabila Anda perhatikan lagi baik-baik dari jarak yang cukup dekat, maka Anda akan mendapati bahwa kastil tersebut tersusun atas butir-butir kecil pasir pantai.
Sekarang ambillah satu butir pasir saja. Meskipun kita sudah melihatnya sedekat mungkin, ia tetap terlihat seperti pasir yang kompak, tapi sebetulnya ia pun tersusun atas molekul-molekul yang lebih halus lagi. Molekul-molekul itu juga tersusun atas atom-atom yang jauh lebih halus lagi. Nah, menurut Demokritus, atom adalah penyusun pasir yang paling kecil dan tidak dapat dibagi lagi.
Fisikawan tidak mau percaya begitu saja dengan spekulasi Democritus. Mereka lalu merancang peralatan untuk membantu meramalkan tersusun atas apakah atom-atom itu. Hasilnya diketahui bahwa atom ternyata tersusun atas inti yang dikelilingi elektron-elektron. Sejauh ini elektron disepakati sebagai zarah yang elementer, namun dalam berbagai percobaan, inti ternyata bisa dipecah lagi menjadi hadron-hadron yang disebut proton dan neutron. Dengan peralatan yang lebih canggih lagi, neutron ditembakkan dari sebuah sumber menuju target. Ketika ia menumbuk target, terdeteksilah beberapa partikel yang lain: proton, elektron, neutrino, dan sebagainya.
Kecanggihan teknologi di era modern telah menciptakan peralatan eksperimen yang luar biasa: akselerator berputar atau sinklotron. Pada sepanjang abad 20 dan 21, CERN dan lembaga-lembaga riset lain di Amerika dan Eropa telah membangun alat seperti ini. Hasilnya, atom telah dipecah-pecah menjadi ratusan zarah subatom. Dengan bekal SDM dan dana yang sangat besar, yang di tanggung berbagai negara maju di dunia, CERN membangun sinklotron terbesar di planet. Peralatan paling mutakhir dibangun di perbatasan Swiss dan Perancis adalah sebuah akselerator raksasa sepanjang 27 km bernama Large Hadron Collider (LHC). LHC akan digunakan untuk memburu partikel bernama boson Higgs, yang diduga memberi massa semua partikel. Ia dikatakan sebagai partikel terakhir yang akan menjawab semua problem fisika.2
Beberapa orang mungkin meragukannya, apakah boson Higgs benar-benar terakhir? Suatu masa di abad-abad mendatang, kita akan semakin teliti dalam memecah partikel subatom. Kalau kita menilik Alquran, pertanyaan ini akan segera terjawab. Alquran menyatakannya dalam ayat: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (QS. 65:12)”.
Alquran secara eksplisit mengemukakan bahwa bumi (materi yang bisa diamati di bumi) tersusun atas tujuh lapis seperti pula lapisan-lapisan langit. Dengan peralatan yang semakin canggih dan semakin berenergi, kelak manusia akan terus memecah-mecah zarah-zarah yang menyusun bumi hingga ditemukan zarah paling kecil pada pemecahan yang ketujuh. Misalnya saja apabila Anda mengambil sebutir batu kerikil, maka ia bisa kita haluskan sampai tujuh tingkat energi. Tingkat energi pertama akan memecah batu itu menjadi molekul-molekul (unsur dan senyawa), tingkat energi kedua akan memecah molekul-molekul itu menjadi atom-atom, tingkat energi ketiga akan memecah atom-atom menjadi inti dan elektron-elektron, tingkat energi keempat akan memecah inti-inti menjadi hadron-hadron (proton, neutron, dan lain-lain), tingkat energi kelima akan memecah hadron-hadron menjadi kuark, tingkat energi keenam akan memecah kuark-kuark menjadi zarah yang lebih elementer lagi, dan tingkat energi ketujuh akan memecahnya menjadi zarah-zarah yang lebih elementer lagi.
Salah satu nama surat dalam al Qur’an adalah an Nuur yang berarti “cahaya” (lihat gambar 1). Cahaya bukan merupakan fenomena aneh dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi yang sudah mempelajari IPA dari sejak SD, telah mengerti sifat-sifat cahaya ini. Lalu al Qur’an memuat surat “cahaya”, apa keistimewaannya?dalam Qur’an surat an Nuur : 35 disebutkan: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ternyata disebutkan bahwa cahaya berlapis-lapis/bertingkat (lihat gambar 2). Dalam fisika telah dimaklumi bahwa cahaya putih dari sinar matahari jika dilwatkan pada sebuah prisma akan terurai menjadi warna-warni seperti pelangi. Warna-warni ini menunjukkan spektrum cahaya sekaligus tingkat energinya. Semakin ke arah warna merah, energinya semakin tinggi. Jika cahaya memasuki air laut, maka uraian warna tadi (pelangi) tersebut akan hilang satu persatu sesuai tingkatannya. Pada kedalaman tertentu, warna merah tidak bisa menembus lagi, sementara warna lainnya masih terus masuk ke dalam air. Begitu seterusnya sampai warna terakhir yang masuk ke kedalaman tertentu secara berurutan ke warna violet.
Fenomena ini cukup jelas bagi kita bahwa cahaya memiliki tingkatan seperti disebutkan dalam al Qur’an. Makna tersembunyi lainnya adalah bahwa pernyataan al Qur’an (an Nuur : 40) tentang adanya lapisan dalam lautan tidak pula dipungkiri. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.
Karakter lainnya dari cahaya adalah memiliki massa diam m0 = 0. Ini berarti bahwa cahaya tidak memiliki energi jika dalam keadaan diam. Energi cahaya dapat dinyatakan dengan perkalian frekuensinya dengan konstanta Planck (h), jadi E = hf dengan f = frekuensi cahaya. Dengan kata lain, cahaya tidak pernah diam kapanpun. Sifat cahaya ini tidak lain adalah sifat Allah Swt, yaitu Nur ‘alan Nuur. Dalam ayat lain (ar Rahmaan: 29), Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezki dan lain lain.
Allah tidak pernah tidur, Dia selalu sibuk, bergerak, berinovasi, menciptakan baik benda langit dan makhluk hidup di bumi selalu mengalami perubahan karena kehendak Allah. Sifat cahaya yang tidak pernah diam ini merupakan sifat Allah. Jika cahaya diam, berarti tidak memiliki energi, tidak memiliki kreativitas (daya cipta), tidak memiliki inovasi. Ini bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Pencipta.
Hasil penelitian Astro-Fisika terbaru menunjukan bahwa di langit selalu tercipta bintang-bintang baru dalam bentuk Asap, asap-asap ini membentuk jaringan materi antar galaksi, menggumpal, membentuk bintang-bintang baru, seterusnya sampai wujud bintang yang kita lihat setiap malam. Surat Fushshilat : 11 menjelaskan: Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa kepatuhan langit ini diimplementasikan dalam bentuk taat azas berupa tetapnya Hukum-Hukum Alam di Jagad Raya ini. Sedikit saja terjadi pergeseran/melenceng dari Hukum Alam yang ada, dapat dibayangkan benda-benda langit akan keluar dari garis edarnya. Begitu pula, sedikit saja frekuensi cahaya tampak digeser ke arah tinggi atau rendah, maka hal-hal yang indah dalam penglihatan kita, bisa terhapus selamanya.
Manusia hanya bisa melihat pada frekuensi cahaya tampak, di luar rentang frekuensi ini, cahaya tidak dapat dilihat. Frekuensi diluar rentang cahaya tampak adalah sinar X, sinar gamaa, infra merah, gelombang radio, dan lainnya. Kesemuanya, termasuk cahaya merupakan gelombang elektromagnetik (GEM). Meskipun tidak terlihat, cahaya/sinar-sinar (GEM) ini semua bermanfaat bagi manusia, seperti penggunaan Rontgen dalam kedokteran, komunikasi radio dan lainnya.Ada banyak hal dalam Qur’an terkait dengan Sains-Tekno yang belum kita gali. Satu ayat mungkin bisa menjadi inspirasi dalam perkembangan Sains-Teknologi dan sebaliknya pula kita dapat menjelaskan ayat Qur’an lewat Sains-Tekno.
Dalam hadis juga dijelaskan berbagai hal tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya sabda-sabda nabi seperti "Pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengetahuan), dan tidak akan membahayakan bagi kamu dari bejana apapun hikmah itu keluar", "Hikmah adalah barang hilangnya seorang beriman, karena hendaknya ia memungutnya dimanapun diketemukannya", "Carilah ilmu meskipun di negeri Cina", ataupun ungkapan sahabat Ali bin Abu Thalib, "Perhatikanlah apa yang dikatakan orang dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan." Berdasarkan pada etos dan dorongan semangat tersebut, umat Islam masa lalu mampu berkembang menjadi umat yang kreatif dan ber-IPTEK tinggi.
Mengacu pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kajian IPTEK dalam al-Qur'an lebih bersifat substantif-naturalistik. Tidak ada kajian khusus tentang IPTEK, dalam arti history of scientific progress, dalam al-Qur'an dan hadis. Kajian yang terdapat di dalamnya hanya sebagai respon atas persoalan natural yang dihadapi oleh umat pada masa pewahyuan. Kajian tersebut tercermin dalam berbagai gagasan tentang etos keilmuan sebagaimana konteks sejarah pada waktu itu. Quraish Shihab menyebutnya dengan istilah social psychologi.
Gambar 1. Cahaya Gambar 2. Warna
2. Sumbangan Islam dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Selama jaman keemasan Islam berlangsung sekitar 700 tahun, Islam telah memberikan sumbangan dasar dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak cendekiawan Muslim yang dilahirkan pada masa keemasan Islam tersebut dengan berbagai karyanya. Dr. A. Rahman dari New Delhi menjelaskan demikian :”during the glorious period of Islamic civilitation which continued about seven hundred years, from about 700 A.D. to 1500 A.D., Islamic science and technology flourished, many great muslim scientists who ushered a new horizon of science were born during this period. Some of them are : Jabir ibn Haytim, Abu Bakar ibn Zakaria, Ibnu al Haytam, Al Beruni, Abu Sin (Abisina) and many others.”
Para khalifah pada masa Abbasiyah telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengadakan beberapa riset. Didirikannya berbagai perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah, observatorium. Khalifah Al Makmun dan Harun al Rasyid misalnya, telah memfokuskan perhatiannya dalam pengembangan sainstek dengan didirikannya lembaga riset Bait al Hikmah (House of Wisdom).
Kontribusi Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu besar saat dunia barat sedang berada pada masa kegelapan (the dark period). Beberapa cendekiawan dibidangnya bisa kita lihat misalnya :
a. Bidang Matematika
Al Hawarism (210 H/875 M), Abu Ja’far Muhammad ibn Musa, Umar Khayyam (526 H/1131 M), Al Battani (317 H/929 M), Abu Wafa (388 H/929 M) dan lainnya.
b. Bidang Astronomi
Ibn al shatir, dan Al Khalili dengan penentuan arah kiblat Makkah.
c. Bidang Fisika
Ibn al Haytam (430 H/1039 M), Al Biruni (973 H/1048 M).
d. Bidang Kimia dan Industri
Jabir ibn Hayyan, Abu bakar ar Razy, Al Kindi
Ada beberapa hasil ilmu pengetahuan yang telah difungsikan bagi kepentingan umum semisal bidang pengairan, konstruksi bangunan, teknologi militer, ilmu kelautan, industry tekstil, pertanian, teknologi makanan dan lainnya.
Namun sekarang kemajuan dan teknologi telah beralih ke dunia barat. Ketika berbicara tentang hal ini, tidak jarang muncul semacam keminderan tentang kontribusi Islam dalam peradaban kontemporer sekarang ini. Ini adalah realitas sejarah yang harus diterima sebagai suatu kenyataan, bahwa Islam memiliki kontribusi yang kecil, untuk tidak mengatakan tidak ada, dalam era teknologi canggih sekarang ini.
Meskipun demikian, kalau IPTEK diletakkan sebagai sesuatu yang berproses, maka ada realitas yang berbeda yang dapat diungkap. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, IPTEK tidak lahir di Barat melalui revolusi industrinya. IPTEK, secara umum, sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Barat, dengan tanpa menafikan keberhasilannya dalam membangun peradaban IPTEK, hanya berperan mengembangkan IPTEK yang telah ada pada peradaban sebelumnya.
Kebanyakan ahli sejarah memang menggambarkan abad pertengahan sebagai periode yang sangat gelap dalam sejarah umat manusia. Tetapi ungkapan ini merupakan pandangan subyektif yang timbul karena pemusatan eksklusif pada sejarah peradaban Barat saja. Zaman kegelapan tersebut hanyalah zaman kegelapan Eropa, bukan zaman kegelapan seluruh umat manusia. Kenyataannya, pada saat bangsa Eropa disibukkan dengan pembakaran ahli-ahli sihir dan penyiksaan para penyimpang agama, peradaban Islam berada pada puncak kecemerlangannya.
Data-data yang disusun oleh Engku Ahmad Zaki Engku Alwi berikut ini dapat digunakan sebagai tambahan data untuk memotret kekayaan IPTEK Islam pada masa itu:
a. Seorang ulama bernama Ibnu Rusta terkenal sebagai ahli astronomi dengan bukunya yang banyak membahaskan secara sistematik geografi matematik dan astronomi di samping mengemukakan teori ahli astronomi Arab, Yunani dan India.
b. Ulama lain yang bernama bernama Muslim al-Farghani adalah seorang pakar Astronomi berasal dari Faraghna, Uzbekistan. Beliau mengarang kitab al-Kamil fi al-Asturlab yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin dengan judul Compendium sehingga menjadi rujukan utama di seluruh pelosok Eropa.
c. Al-Raihan Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan julukan al-Biruni, di kalangan orientalis, dianggap sebagai tokoh ilmuwan terbesar dan seorang experienmentalis ilmu yang tekun pada abad pertengahan Islam. Beliau menguasai dengan baik bidang matematik, kedoktoran ,farmasi ,astronomi dan fizika. Al Biruni juga dikategorikan sebagai ahli sejarah, geografi, kronologi, bahasa serta seorang pengkaji mengenai adat istiadat dan sistem kepercayaan. Beliau juga seorang ulama Islam.
d. Dalam bidang kedokteran, Islam melahirkan seorang tokoh terkenal, yaitu Abu Kassim al-Zahrawi, sebagai seorang dokter dan ahli bedah Muslim. Beliau juga dikenali Barat dengan nama Abulcasis. Di bidang kedoktoran, al-Zahrawi dianggap sebagai perintis ilmu pengenalan penyakit (diagnosis) dan cara penyembuhannya (the rapeutif) penyakit telinga. Dia juga merintis pembedahan telinga untuk mengembalikan fungsi pendengaran. Bukan sekadar itu, al-Zahrawi juga memelopori pengembangan ilmu penyakit kulit (dermatologi). Di samping itu, ia juga terkenal sebagai doktor gigi. Al-Zahrawi mengarang buku ensiklopedia perobatan yang berjudul Al-Tasrif Liman Anjaza al-Ta’lif (Medical Vademecum) yang menerangkan dan melukiskan dengan jelas diagram tidak kurang dari 200 peralatan pembedahan. Ensiklopedia itu, saat ini menjadi rujukan utama bidang kedokteran di perguruan tinggi Eropa.
e. Nama berikutnya adalah Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Hasan Ali ibnu Sina. Ulama, yang di Barat dikenal sebagai Aviccena ini, mendalami semua jenis cabang ilmu dalam usia yang muda hingga beliau dapat menguasai bidang logika, matematika, fizika, politik, kedoktoran dan filsafat di samping ilmu agama. Ibnu Sina mengarang lebih 276 buah buku yang meliputi berbagai bidang ilmu seperti filsafat, geometri, kedoktoran, astronomi, musik, sastra, teologi, politik, matematika, fizika, kimia, kosmologi dan sebagainya. Diantara karya terbesarnya ialah Al-Qanun fi al-Tibb, yang merupakan himpunan segala disiplin ilmu. Buku ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Canon of Medicine, dan menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran. Buku lainnya ialah al-Syifa, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, The Book of Discovery, dalam 18 jilid.
f. Seorang lagi tokoh ulama yang terkenal dalam bidang kedokteran ialah Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rushd yang terkenal di Barat dengan gelaran Averroes. Ibnu Rushd merupakan seorang ulama, ahli filsafat ulung dan pakar dalam bidang fizika, kedoktoran, biologi dan astronomi. Beliau banyak membuat kajian astronomi dan pernah berkhidmat sebagai doktrr dan hakim besar di Cordoba. Ibnu Rushd dikenali sebagai seorang perintis ilmu kedoktoran umum serta perintis mengenai ilmu jaringan tubuh (Histologi). Beliau juga berjasa dalam bidang penelitian pembuluh darah serta penyakit cacar. Karya beliau yang berjudul Al-Kulliyyah fi al-Tibb sebanyak 16 jilid, merupakan karya terbesar dan menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran. Buku tersebut kemudian diterjemah dalam bahasa Inggris dengan tajuk General Rules of Medicine.
g. Di dalam bidang kimia, muncul seorang tokoh ulama bernama Jabir ibnu Hayyan al Kufi (Geber). Ia terkenal sebagai bapak kimia Arab. Beberapa karya terbesarnya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Perancis. Antaranya, Jumlah yang Tersempurna (terjemahan), Kitab Dacing, Kitab Raksa Timur dan Kitab Kerajaan. Dia banyak memperkenalkan kegunaan praktik kimia seperti mencelup kain dan kulit, dan sebagainya.
h. Tokoh kimia lainnya bernama Muhammad Abu Bakar al-Razi, yang terkenal sebagai ahli peobatan kimia. Ada yang menganggapnya sebagai pengasas kimia moden. Al-Razi mencatatkan dengan terperinci lebih 20 alat besi dan kaca. Ia berpendapat bahwa penyembuhan penyakit pada dasarnya adalah reaksi kimia dalam tubuh badan seseorang.
Umat Islam pada saat itu benar-benar mampu menangkap pesan moral al-Qur'an, sehingga mereka mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang belum pernah terpikirkan oleh peradaban sebelumnya. Mereka mampu menemukan, sesuatu yang disebut oleh Nurcholish Madjid sebagai inner dynamics al-Qur'an. Dorongan keilmuan mereka bukanlah hukum-hukum tekstual dalam al-Qur'an, melainkan suatu pemaknaan dinamis terhadap ajaran Islam yang terdapat di dalam al-Qur'an, yang sudah disebut sebelumnya sebagai etika keilmuan Islam.
3. Perkembagan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dunia Islam
Pada prinsipnya modernisasi teknologi dan akselerasi kemajuannya menjadi topic perlombaan, bahkan setiap individu maupun setiap bangsa beradu cepat dalam mengangkat modernisasi teknologi menjadi sebuah kultur global. Idealism ini memang representatif dan sehat, sebab kemajuan teknologi pasti mampu membantu aspek kehidupan umat manusia.
Membicarakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka secara otomatis akan mengorek kecanggihan peradaban barat dengan mengesampingkan dunia Islam yang mengalami keterpurukan. Umat Islam belum mampu menandingi dengan menagmbil momentum masa keemasannya dulu tentang sains dan teknologi. Saya berpikir sederhana, untuk mengikuti dan memantau perkembangan mereka saja kita tidak mampu padahal kita tinggal menggunakan saja sebagai konsumen bukan prudusen.
Pada era kontemporer sekarang ini, umat Islam berposisi sebagai pengguna IPTEK. Bahkan, dalam beberapa kasus, tidak sedikit umat Islam yang masih buta IPTEK. Meskipun demikian bukan berarti diskursus IPTEK tidak mendapatkan tempat dalam studi Islam kontremporer. Paling tidak ada dua isu utama, dalam diskursus keislaman kontemporer, yang memfokuskan diri pada masalah IPTEK, yakni tafsir ilmiah dan islamisasi ilmu.
Munculnya diskursus tentang tafsir ilmiah dan islamisasi ilmu, berkaitan erat dengan tantangan hebat yang dihadapi oleh umat Islam pada pertengahan abad XIX. Tantangan tersebut tidak hanya terbatas pada bidang politik dan militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar umat Islam. Di satu sisi umat Islam melihat kemajuan Barat dengan IPTEK-nya, sementara di sisi lain merasakan adalanya kelemahan umat serta kemunduran dalam peradaban dan IPTEK. Keadaan ini menimbulkan perasaan rendah diri pada sebagian besar kaum muslimin.
Para cendekiawan muslim mencoba menghadapi perkembangan tersebut dengan berbagai respon. Salah satu caranya ialah dengan mengingat kejayaan-kejayaan Islam pada masa lalu, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fakhri wa al-tamjid atau sastra kebanggaan dan kejayaan. Pengaruhnya terhadap pemikiran masyarakat Islam sangat besar, khususnya dalam menafsirkan al-Qur'an. Berangkat dari respon inilah muncul tafsir ilmiah.
Beberapa contoh tafsir ilmiah diantaranya adaalah sebagai berikut :
a. Penafsiran yang dilakukan oleh Abdurraziq naufal terhadap Q. S. al-naml: 82. Ayat ini, menurutnya membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar. Ia menyatakan bahwa binatang-binatang yang diangkut oleh Rusia ke luar angkasa, setelah dikembalikan ke bumi, berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang sangat nyata dan mengungkapkan sebagian dari misteri alam semesta.
b. Penafsiran populer, khususnya di Indonesia, terhadap Q. S. al-Rahman: 33. Ayat ini dijadikan dasar bagi cendekiawan muslim untuk membuktikan bahwa al-Qur'an telah membicarakan persoalan-persoalan angkasa luar. Ayat tersebut ditafsirkan bahwa manusia akan dapat pergi menuju ruang angkasa selama mereka mempunyai kekuatan, yaitu ilmu pengetahuan.
Adapun ide islamisasi ilmu mulai mengemuka ketika terjadi konferensi ’Kebangkitan Islam Sejagad’ pada penghujung tahun 1970-an dan ’Persidangan Pertama Pendidikan Islam Sedunia’ di Makkah pada tahun 1977 yang dihadiri oleh sarjana-sarjana muslim dari seluruh penjuru dunia. Konferensi-konferensi tersebut didasari adanya keprihatinan terhadap keterbelakangan dunia Islam di bidang IPTEK. Inti Islamisasi adalah mengembalikan tradisi keilmuan umat masa lalu dengan menghadirkan dimensi sakralitas atau transesdensional dari.keilmuan.
Baik tafsir ilmiah maupun islamisasi ilmu, keduanya merupakan respon reaktif umat Islam terhadap kemajuan peradaban Barat dan kemunduran Islam. Reaksi ini secara simbolik memang mampu menjadi oase di tengah keringnya prestasi IPTEK Islam. Akan tetapi ide-ide ini mendapatkan reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam yang muncul belakangan. Di antara mereka adalah Quraish Shihab, dengan sosial pshicology approach-nya, dan Nurcholish Madjid melalui etika keilmuan Islamnya, sebagaimana pembahasan di atas. Selain itu masih ada Kuntowijoyo dengan konsep pengilmuan Islam dan juga Perves Hoodbhoy lewat rasionalitas saintifik-nya.
Agar umat Islam mampu mengembalikan keemasan peradaban dan kebudayaannya maka perlu mengadakan berbagai riset yang secara tekstual bersumber dari ayat-ayat Al Qur’an. Sepertin yang sudah diketahui, lebih dari 750 ayat Al Qur’an membahas fenomena alam. Ayat-ayat ini sebenarnya memberikan pesan-pesan penting bagi para ilmuwan Muslim. Ada beberapa masalah esensial dari pesan tersebut yang perlu direnungkan dan dikaji untuk diinternalisasikan.
a. Anjuran untuk mengkaji seluruh aspek alam dan menemukan misteri-misteri penciptaan. Pada penciptaan manusia dan binatang dalam surah Al Jastiyah : 4,
وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِن دَابَّةٍ آيَاتٌ لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٤﴾
Artinya: “Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini”
Juga dijelaskan dalam surat Al ‘Ankabut: 20,
قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٠﴾
Artinya: “Katakanlah berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Menurut Al Qur’an , kita harus memakai indera dan intelek untuk memahami alam sehingga akan mengantarkan kita kepada apresiasi keagungan dan kekuasaan Allah SWT.
b. Segala sesuatu di dunia itu teratur dan bertujuan, dan pada perbuatan Allah tanpa ada kesalahan apapun.
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً ﴿٢﴾
Artinya: “ yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al Furqan: 2)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاء وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لاعِبِينَ ﴿١٦﴾
Artinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Al Anbiya’: 16)
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقاً مَّا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِن تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِن فُطُورٍ ﴿٣﴾
Artinya: “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang.”(Al Mulk: 3)
c. Al Qur’an menyuruh kita mengenali hukum-hukum alam (pola Allah di alam semesta) dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia tanpa melampaui batas.
أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ ﴿٨﴾
Artinya: “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.”(Al Rahman; 8)
d. Dalam pandangan Al Qur’an, seluruh sains adalah perwujudan berbeda dari satu dunia yang diciptakan dan dikelola oleh satu Tuhan. Karena itu kombinasi ilmu-ilmu tersebut harus mengarah kepada gambaran tunggal dunia.
Ringkasnya, pelajaran penting yang kita peroleh dari ayat-ayat di atas yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ayat-ayat keilmuan Al Qur’an adalah : pertama, prioritas harus diberikan pada penemuan alam dengan menggunakan indera dan akal manusia. Kedua, bahwa Al Qur’an dapat member kita pandangan dunia (world-view) yang benar.
Allahu a’lam bi al shawab.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif Islam.
1) Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui sumber-sumber pengetahuan. Sumber-sumber tersebut dapat berupa rasio, pengalaman, intuisi dan wahyu.
2) Teknologi diartikan sebagai pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya.
3) Islam memposisikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari syariat, karena ayat-ayat hukum di dalam al-Quran hanya sekitar 150 ayat sementara ayat kauniah sekitar 750 ayat. Ayat kauniyah lima kali lebih banyak dari ayat hukum
b. Kontribusi Isalam bagi perkembangan ilmu dan teknologi.
1) Kontribusi Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu besar saat dunia barat sedang berada pada masa kegelapan (the dark period).
2) Pada masa keemasan Islam telah lahir para cendekiawan Muslim dengan berbagai disiplin ilmunya baik dalam ilmu agama maupun umum (sainsteknologi)
3) Para Khalifah selaku pemangku amanah umat sangat memperhatikan pentingnya ilmu dan teknologi bagi penciptaan peradaban Islami yang member manfaat bagi kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan (alam) yang member rahmat bagi alam semesta.
c. Perkembangan ilmu dan teknologi di dunia Islam.
1) Pada masa Abbasiyah Islam telah mencapai puncak kejayaannya dalam peradaban di saat Barat sedang dalam era kegelapan.
2) Para cendekiawan Muslim terus melakukan pembenahan agar bisa mengikuti perkembangan jaman walaupun realitanya kalah dengan pesatnya perkembangan teknologi Barat.
3) Al Qur’an sebagai kitab yang berisi tentang kaidah-kaidah ibadah dan ilmu pengetahuan perlu digali terus agar era keemasan Islam akan terulang sehingga mampu memberikan pencerahan budaya dan peradaban.
2. Penutup
Demikian paper sederhana ini saya buat yang tentunya jauh dari kesempurnaan sehingga saran dan kritik konstruktif sangat diperlukan. Semoga bermanfaat dan menambah hazanah keilmuan Al Qur’an.
Amien…
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman, Islam on Science & Technology, (New Delhi: Adam Publishers, 2000)
A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 1995).
Danial bin Zainal Abidin, Kecemerlangan Islam Melalui Teknologi ,(http://www.rakanmasjid.com/modules/article/view.article.php?24, diakses tanggal 2 Maret 2009.
Engku Ahmd Zaki Engku Alwi , Al Qur’an Sumber Agung Tamadun Keilmuan Islam (http://nurjeehan.wordpress.com.al-quran-sumber-agung-tamadun-keilmuwan-islam/), diakses pada 2 Maret 2009.
http://kangbayu.multiply.com/journal/item/750/Islam Tradisi Sains Teknologi dalam Islam, diakses tanggal 2 Maret 2009.
I.R. Pudjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991 )
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Kamsul Abraha, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, ed. Jarot Wahyudi dkk,(Yogyakarta: Suka Press, 2003),
Ki Supriyoko, Mengatasi Buta Aksara Dunia (Kompas, 24 Maret 2008)
Mahdi Ghulsyani, Fisafat Sains Menurt Al Qur’an, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1988)
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'I atas Perbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2001)
--------------------------, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999)
Muhammad Nuh dan Endrotomo, Ilmu dan Teknologi (http://www.si.its.ac.id/kurikulum/materi/iptek/ilmuteknologi.html), diakses pada tanggal 2 Maret 2009.
Netsain.Com, diakses tanggal 5 Maret 2009.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2000)
Oetarjo Diran, Beberapa Catatan Perkembangan IPTEK, makalah disampaikan pada seminar Pesantren Teknologi LIPTEK Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 31 Desember 1991 - 4 Januari 1992.
Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas; Antara Sains dan Ortodoksi Islam (Bandung: Bandung, 1996)
Rohadi dan Sudarsono, Ilmu dan Teknologi Dalam Islam, cet. 3, (Jakarta: Depag RI, 2005)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2004)
Rosnani Hashim , Sekilas Islamisasi Ilmu: Antara Al-Attas dan Al-Faruqi (http://iptekita.com/content/view/14/1/, diakses pada tanggal 2 Maret 2009.
Vandha. Cahaya dalam Al Qur’an dan Kajian Fisika, http://vandha.co.co, diakses tanggal 5 Maret 2009.
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, (http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi), diakses pada 2 Maret 2009.
Sabtu, April 25, 2009
MERANCANG
MERANCANG, MELAKSANAKAN, DAN MELAPORKAN
PENELITIAN TINDAKAN KELAS *)
Murwati Widiani
A. Pendahuluan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu bentuk penelitian yang paling sesuai untuk mengatasi berbagai permasalahan pembelajaran yang dihadapi guru di kelas. Seorang guru yang melaksanakan PTK akan memperoleh manfaat ganda, baik bagi dirinya, para siswanya, maupun bagi institusi pendidikan. Bagi guru, PTK akan meningkatkan kualitas kinerjanya, meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pembelajaran, sekaligus meningkatkan kemampuan dalam kegiatan pengembangan profesi, khususnya dalam kegiatan penelitian pendidikan. Bagi siswa, dengan PTK, kualitas proses dan hasil belajarnya akan meningkat. Jika kemampuan guru dan siswa meningkat, sekolah juga akan memperoleh keuntungan karena memiliki guru yang profesional dan menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas.
Di samping itu, karya tulis hasil penelitian tindakan kelas akan bermanfaat bagi peningkatah karier dan berimbas pada peningkatan kesejahteraan guru. Misalnya, untuk mengajukan usul kenaikan pangkat ke IV/b dan seterusnya, sebuah laporan PTK yang ditulis dalam bentuk makalah dan cukup didokumentasikan di perpustakaan sekolah mendapatkan poin 4. Jika dalam satu tahun guru melaksanakan PTK satu kali, dalam tiga tahun guru tersebut sudah dapat naik ke IV/b. Dalam usul sertifikasi guru, PTK semacam itu dihargai dengan nilai 10. Belum lagi jika karya tulis hasil PTK dimanfaatkan sebagai naskah lomba karya tulis dan mendapatkan juara. Tampaknya, kini berbagai lomba inovasi pembelajaran, karya tulis hasil PTK mendapatkan perhatian utama dari para juri.
Sayangnya, tidak semua guru mau dan mampu mempraktikkan PTK. Berdasarkan hasil audiensi terhadap guru-guru yang tergabung dalam sebuah MGMP, ada beberapa alasan yang menjadikan guru belum melaksanakan PTK: (1) menganggap PTK sangat sulit dilakukan karena harus banyak membaca berbagai teori yang terkait, (2) belum tahu cara menemukan permasalahan dan solusinya, dan (3) PTK dapat mengganggu proses belajar mengajar sehingga pencapaian kompetensi siswa terhambat. Ketiga alasan itu sebenarnya bermuara dari ketidakpahaman mengenai konsep PTK dan kurangnya kemauan untuk belajar dari berbagai sumber.
Di sisi lain, banyak guru yang sebenarnya telah melaksanakan PTK atau pembelajaran yang mirip dengan PTK, namun tidak menulis laporannya atau tidak mendokumentasikannya sebagai karya tulis. Penyebabnya antara lain karena tidak memahami sistematika laporan PTK atau kesulitan dalam mendeskripsikan hasil PTK sehingga stagnan ketika menulis. Bahkan pernah diungkapkan oleh Prof. Dr. Pujiati Suyoto, dosen Pascasarjana UNY, banyak mahasiswa yang memilih PTK sebagai tesis tidak dapat menyelesaikan laporannya dalam jangka waktu relatif lama. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa PTK mudah dirancang dan dilaksanakan, namun sulit dilaporkan.
Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa hal: (1) Apakah Penelitian Tindakan Kelas itu?, (2) Bagaimanakah merancang PTK?, (3) Bagaimanakah melaksanakan PTK?, dan (4) Bagaimanakah melaporkan PTK menjadi karya tulis hasil penelitian?
B. Apakah Penelitian Tindakan Kelas itu?
Ada beberapa pengertian tentang PTK yang dikemukakan para ahli. Menurut Kemmis (via Sukamto, 2000:6) penelitian tindakan merupakan sebuah inkuiri yang bersifat reflektif mandiri yang dilakukan oleh partisipan dalam situasi sosial termasuk kependidikan dengan maksud untuk meningkatkan kemantapan rasionalitas dari (a) praktik-praktik sosial maupun kependidikan, (b) pemahaman terhadap praktik=praktik tersebut, (c) situasi pelaksanaan praktik-praktik pembelajaran.
Suyanto, 1997 (Leo Idra Ardiana, 2003:4) mengemukakan definisi bahwa PTK merupakan bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara profesional.
”The method of action research involves a self-reflective spiral of planning, acting, observing, reflecting, and re-planning.” (McNiff, 1988:7). Pada pelaksanaan PTK, guru terus-menerus mengadakan refleksi, merencanakan tindakan, dan melaksanakan tindakan pada tahap berikutnya. Oleh sebab itu, PTK merupakan proses bersiklus, setiap siklusnya terdiri atas empat tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.
Dari konsep di atas dapat dikatakan bahwa PTK berawal dari kesadaran guru akan adanya permasalahan di kelas, kemudian guru berusaha mencari solusi, merancang dan menerapkan solusi, mengamati hasil penerapan solusi, menemukan kekurangan, kembali menyusun rancangan tindakan yang diperbaiki, dan seterusnya. Itulah sebabnya dalam PTK harus ada siklus. Banyaknya siklus tergantung pada ketercapaian keberhasilan tindakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. PTK minimal terdiri atas dua siklus.
Menurut Hopkins sebagaimana dikemukakan oleh Leo Idra Ardiana (2003:8) ada enam prinsip penting dalam penelitian tindakan kelas. Prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1. PTK tidak boleh mengganggu kegiatan guru mengajar di kelasnya.
2. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan sehingga mengganggu proses pembelajaran. Oleh sebab itu, sejauh mungkin harus digunakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangani sendiri oleh guru sementara ia tetap aktif bertugas sebagai guru secara penuh.
3. Metode yang digunakan harus cukup reliabel sehingga memungkinkan guru mengidentifikasikan serta merumuskan hipotesis secara meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk menjawab hipotesis yang dikemukakannya.
4. Masalah penelitian yang diangkat oleh guru seharusnya merupakan masalah yang memang benar-benar merisaukannya dan bertolak dari tanggung jawab profesionalnya.
5. Dalam menyelenggarakan PTK, guru harus selalu bersipak konsisten menaruh kepedulian tinggi terhadap prosedur etika yang berkaitan dengan pekerjaannya. Prakarsa penelitian harus dikemukakan kepada pimpinan lembaga, disosialisasikan kepada teman sejawat, dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, dilaporkan hasilnya sesuai dengan tata krama penyusunan karya ilmiah, di samping tetap mengedepankan kemaslahatan peserta didik.
6. Dalam pelaksanaan PTK sejauh mungkin guru harus menggunakan wawasan yang lebih luas daripada perspektif kelas. Artinya, permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kelas dan atau mata pelajaran tertentu, melainkan dari perspektif misi dan misi sekolah secara keseluruhan.
Dengan mencermati pengertian PTK, dapat disimpulkan bahwa PTK bertujuan untuk memperbaiki praksis pembelajaran. Dengan PTK diharapkan kualitas proses pembelajaran menjadi lebih baik. Guru dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanannya dalam mengajar dan pada gilirannya prestasi atau kinerja siswa akan meningkat.
C. Bagaimanakah merancang PTK?
Hal pertama yang harus dilakukan dalam merancang PTK adalah menetapkan fokus masalah penelitian. Ada empat langkah yang harus dilakukan dalam tahap ini.
1. Merasakan Adanya Masalah
Banyak guru yang mungkin bertanya bagaimanakah memulai penelitian tindakan kelas. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, guru harus memiliki perasaan tidak puas terhadap praktik pembelajaran yang dilakukannya. Jika guru merasa selalu puas terhadap apa yang dilakukannya, meskipun sebenarnya masih sangat benyak kekurangan dan hambatan dalam proses pengelolaan, sulit kiranya bagi guru untuk memiliki inisiatif memulai PTK.
Oleh karena itu, agar guru dapat mempraktikkan PTK, ia dituntut untuk berkata jujur terutama pada dirinya sendiri untuk mengakui bahwa masih ada kekurangan dalam proses pembelajran yang dikelolanya. Dengan kata lain, guru harus merefleksi, merenung, serta berpikir balik mengenai apa saja yang telah dilakukannya dalam proses pembelajaran dalam rangka mengidentifikasi sisi-sisi lemah yang mungkin ada.
Untuk membantu merasakan adanya masalah, guru dapat mengajukan pertanyaan: Apakah kompetensi awal siswa yang mengikuti pembelajaran cukup memadai? Apakah proses pembelajaran yang dilakukan sudah cukup efektif? Apakah hasil pembelajaran cukup berkualitas? Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan jujur, akan muncul masalah yang dapat dijadikan pijakan awal untuk melakukan PTK karena pada dasarnya tidak ada satu pun keadaan guru, siswa, atau kelas yang sempurna.
2. Identifikasi Masalah
Pada tahap ini, guru berusaha menghasilkan gagasan-gagasan awal mengenai permasalahan awal yang aktual yang dialami dalam pembelajaran. Masalah tersebut dapat berkaitan dengan manajemen kelas dan iklim belajar, proses belajar mengajar, proses belajar dan perkembangan personal. Tiap-tiap kelompok tersebut dapat dijabarkan ke dalam tema-tema yang lebih operasional.
Cara melakukan identifikasi masalah dapat menggunakan langkah berikut:
• Menuliskan semua hal yang dirasakan memerlukan perhatian dan kepedulian karena akan mempunyai dampak yang tidak diharapkan terjadi, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran.
• Kemudian pilahkan dan klasifikasikanmenurut jenis/bidang permasalahnnya, jumlah siswa yang mengalami, dan tingkat frekuensi timbulnya masalah
• Urutkan dari yang ringan, jarang terjadi, dan banyaknya siswa yang mengalami permasalahan yang teridentifikasi
• Dari setiap urutan, ambillah 3 – 5 masalah dan konfirmasikan kepada guru mata pelajaran yang sama atau serumpun.
• Jika yang dirumuskan ternyata mendapat konfirmasi (diakui sebagai masalah yang urgen untuk dipecahkan), masalah tersebut patut diangkat sebagai calon masalah PTK.
3. Analisis Masalah
Analisis masalah dilakukan untuk mengetahui proses tindak lanjut perbaikan atau solusi yang akan diambil. Analisis masalah adalah kajian terhadap permasalahan dilihat dari segi kelayakannya. Sebagai acuan, dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut.
• di mana konteks, situasi atau iklim masalah terjadi
• kondisi prasarat apakah yang menimbulkan terjadinya masalah
• bagaimanakah keterlibatan komponen, aktor dalam terjadinya masalah
• adakah alternatif solusi yang dapat diajukan
• apakah pemecahan masalah yang akan diambil memerlukan durasi waktu yang tidak terlalu lama
Analisis masalah digunakan untuk merancang rencana tindakan, baik dalam bentuk spesifikasi tindakan, keterlibatan aktor yang berkolaborasi, waktu dalam satu siklus, identifikasi indikator keberhasilan tindakan, dan hal-hal yang terkait dengan solusi yang diajukan.
Selain itu, setelah masalah dianalisis, peneliti dapat menentukan judul PTK. Judul PTK biasanya mencerminkan adanya permasalahan, adanya tujuan, dan adanya solusi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan. Membuat judul PTK untuk dilaporkan pada lembaga dan untuk dijadikan naskah lomba memiliki perbedaan. Sebagai laporan pada lembaga cukup dibuat dengan bahasa yang lugu, tetapi sebagai naskah lomba, judul PTK haruslah menarik, inovatif, dan provokatif. Conto judul PTK adalah sebagai berikut.
• Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi melalui Strategi Cooperative Learning Siswa Kelas XI Bahasa MAN Yogyakarta II (Sebuah Penelitian Tindakan Kelas)
• Pengaruh Penggunaan Slede-Tape terhadap Peningkatan Minat dan Hasil Belajar Siswa dalam Pengajaran Biologi di Kelas II SMP Karang Kates
Contoh-contoh judul PTK yang berhasil masuk final di LKIG LIPI adalah sebagai berikut.
• Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika dengan Permainan Sulap Matematika – Soleh Mawardi, SMP 1 Ngajum, Malang
• Media Cakram Persilangan sebagai Alat Bantu Pembelajaran Genetika – Suminto, MTsN Bima, NTB
• Peningkatan Pemahaman Konsep Listrik Statis melalui Miako – Gufron, SMPN 2 Tanggul, Jember
• Pembuatan Mikroskop Digital untuk PBM IPA Terpadu di SMA – Sutiyana, SMA Karangturi, Semarang
• Pemanfaatan Kol Ungu (Brassica Oleracea) sebagai Alternatif Pengganti Larutan Indikator Universal dalam Pembelajaran Kimia – Bambang Suhartawan, SMA 1 Jayapura
• Pendidikan Saling Temas yang Bermuatan Lokal (Penerapan di Gunungkidul, Yogyakarta) – Kisworo, SMP 4 Patuk, GK
• “Dari ‘Samdesing’ hingga Tepuk Tangan” Upaya Meningkatkan Kompetensi Mendongeng melalui Penerapan Strategi “BABAK” – Sutrisno, SMP 1 Tepus, GK
• Mengantarkan Siswa Menggapai Bintang Panggung Sastra dengan Menerapkan Teknik Kolase – Basuki, SMP 21 Malang
• Penerapan Metode “DIKSI”, Sebuah Upaya Meningkatkan Kulitas Pembelajaran Membacakan Puisi – Murwati Widiani, SMA Muh. Pakem
• “Sehati” sebagai Model Baru Pembelajaran Sosiologi di SMA – Zulkarnaen Syri Lokesywara, SMA 1 Jatinom, Klaten
• Membuat kamus Kecil Interaktif Menggunakan Program Komputer Sederhana – Rapiq, MAN Insan Cendekia Serpong
4. Merumuskan Masalah
Selanjutnya, masalah-masalah yang diidentifikasi dirumuskan secara jelas, spesifik, dan operasional. Perumusan masalah yang jelas akan memungkinkan peluang untuk pemilihan tindakan yang tepat. Contoh perumusan masalah:
• Bagaimanakah pelaksanaan model pembelajaran strategi cooperatif learning dalam pembelajaran menulis?
• Apakah stategi cooperatif learning dapat meningkatkan kemampuan menulis eksposisi pada siswa kelas X.1?
• Bagaimanakah implementasi pembelajaran Biologi dengan metode MiMiKri di SMA sehingga dapat menumbuhkembangkan kepedulian terhadap lingkungan?
• Seberapa jauh efektivitas Metode MiMiKri dalam proses pembelajaran Biologi di SMA dapat mengembangkan keterampilan proses ilmiah dan kepedulian terhadap lingkungan pada siswa?
• Bagaimanakah penerapan metode ”DIKSI” dalam pembelajaran membacakan puisi?
• Bagaimanakah kualitas proses pembelajaran setelah diterapkan metode ”DIKSI”?
• Bagaimanakah peningkatan kompetensi siswa dalam keterampilan baca puisi setelah diterapkan metode ”DIKSI”?
• Apakah media pembelajaran maket dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa terhadap bentuk muka bumi?
• Apakah media pembelajaran maket bentuk muka bumi dapat meningkatkan minat belajar siswa pada pelajaran geografi?
Setelah fokus masalah penelitian ditetapkan, kegiatan tahap berikutnya adalah merencanakan tindakan. Kegiatan ini meliputi dua hal, yakni formulasi hipotesis tindakan dan persiapan tindakan.
1. Formulasi Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan adalah dugaan terhadap perubahan yang akan terjadi setelah suatu tindakan dilakukan. Hipotesis tindakan umumnya dirumuskan dalam bentuk keyakinan tindakan yang akan diambil akan dapat memperbaiki sistem, proses, atau hasil. Contoh hipotesis tindakan:
• Jika stategi cooperatif learning diterapkan pada pembelajaran menulis, kemampuan menulis eksposisi pada siswa kelas X.1 akan meningkat.
• Dengan penerapan metode MiMiKri pada pembelajaran Biologi di SMA, kepedulian siswa terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan.
• Dengan menerapkan metode ”DIKSI” pada pembelajaran membacakan puisi, kualitas proses pembelajaran akan meningkat.
• Dengan menerapkan metode ”DIKSI” pada pembelajaran membacakan puisi, kompetensi siswa dalam keterampilan baca puisi akan meningkat.
• Dengan media pembelajaran maket, pemahaman konsep siswa terhadap bentuk muka bumi dapat ditingkatkan.
• Dengan media pembelajaran maket bentuk muka bumi, minat belajar siswa pada pelajaran geografi akan meningkat.
2. Persiapan Tindakan
Hal-hal yang harus dilakukan dalam persiapan tindakan adalah:
• Membuat skenario pembelajaran yang berisikan langkah-langkah kegiatan dalam pembelajaran.
• Mempersiapkan sarana pembelajaran yang mendukung terlaksananya tindakan.
• Mempersiapkan instrumen penelitian, seperti lembar observasi.
• Melakukan simulasi pelaksanaan tindakan
D. Bagaimanakah Melaksanakan PTK?
Melaksanakan PTK adalah melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, melakukan observasi dan interpretasi, serta menganalisis data, evaluasi dan refleksi.
1. Melaksanakan Tindakan
Melaksanakan tindakan pada hakikatnya adalah melakukan kegiatan pembelajaran sesuai dengan rancangan pembelajaran yang telah dipersiapkan. Sesuai dengan skenario pembelajaran, guru dan siswa mengikuti langkah-langkah kegiatan pembelajaran. Pada kegiatan ini, guru didampingi oleh kolaborator yang bertindak sebagai observator.
2. Observasi dan Interpretasi
Secara umum, observasi merupakan upaya untuk merekam proses yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. Kegiatan observasi dilakukan oleh guru yang bersangkutan dan kolaborator. Guru dapat menggunakan catatan harian sebagai alat untuk mencatat hal-hal penting yang terjadi dalam proses pembelajaran. Adapun kolaborator dapat menggunakan lembar observasi. Lembar observasi dapat dibuat dengan kolom-kolom yang berisi kegiatan guru dan siswa dan frekuensi. Namun, dapat juga berupa lembar kosong yang dapat digunakan untuk mencatat semua kejadian, perilaku siswa dan guru, dan semua temuan yang berarti, baik yang bersifat positif maupun negatif. Temuan dapat ditulis berdasarkan hasil interpretasi. Kegiatan observasi dilanjutkan dengan diskusi setelah pelaksanaan tindakan.
3. Analisis Data, Evaluasi, dan Refleksi
Analisis data, baik berupa data kuantitatif (angka atau nilai) maupun kualitatif dari hasil pelaksanaan tindakan dan observasi dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, paparan data, dan penyimpulan hasil analisis. Reduksi data adalah proses penyederhanaan data yang dilakukan melelui seleksi, pengelompokan, dan pengorganisasian data mentah menjadi sebuah informasi bermakna. Paparan data merupakan suatu upaya untuk menampilkan data secara jelas dan mudah dipahami dalam bentuk paparan naratif, tabel, grafik, atau bentuk paparan lainnya yang dapat memberikan gambaran jelas tentang proses dan hasil tindakan. Penyimpulan merupakan pengambilan intisari dari sajian data yang telah terorganisasi dalam bentuk pernyataan atau kalimat singkat, padat, dan bermakna.
Hasil analisis dipergunakan untuk melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil yang dicapai. Guru dan kolaborator dapat mem\nggunakan criteria keberhasilan pencapaian pada siklus. Indikator dalam kriteria dapat berwujud kuantitatif dan kualitatif. Misalnya indikator keberhasilan kuantitatif dinyatakan dengan ”Hasil belajar siswa dapat meningkat jika 85% siswa meraih nilai 75”. Indikator kualitas misalnya ”Proses belajar dikatakan meningkat jika ada kerja sama siswa dalam proses pembelajaran”.
Kegiatan refleksi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengkaji apa yang belum tercapai, mengapa demikian, apa yang perlu dilakukan selanjutnya. Hasil refleksi digunakan untuk memperbaiki rancangan tindakan yang akan dilakukan pada siklus berikutnya.
E. Bagaimanakah Menulis Laporan PTK?
Alur sebuah penelitian pada akhirnya bermuara pada pembuatan laporan penelitian. Oleh sebab itu, laporan penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian. Laporan merupakan pertanggungjawaban peneliti terhadap ilmu yang digelutinya. Jika penelitian dilakukan dengan dukungan dana dari sponsor, laporan juga merupakan bentuk pertyanggungjawaban terhadap lembaga atau badan sponsor yang mendukung penelitiannya (Leo Idra Ardiana, 2003:48).
Laporan PTK dapat beragam bentuk dan formatnya sesuai dengan gaya selingkungnya atau apa yang diinginkan lembaga, badan sponsor, atau instansi yang mengadakan lomba, jika laporan PTK dilombakan. Namun, secara umum, penyusunan laporan dapat dilakukan dengan mengikuti aturan sebagai berikut.
Bagian Pengantar:
Halaman Judul
Halaman Persetujuan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar dan Lampiran
Abstrak
Bagian Isi:
Bab I Pendahuluan
Bab II Kajian Teori
Bab III Metodologi
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bagian Penunjang:
Daftar Pustaka,
Lampiran-lampiran
Uraian Isi Bab Laporan PTK adalah sebagai berikut.
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
Latar Belakang Masalah, menjelaskan rasional atau justifikasi (alasan) penelitian dilihat dari latar belakang pemilihan permasalahan yang diteliti. Bagian ini berisi paparan kondisi ideal yang dipertentangkan dengan kondisi nyata yang terjadi di kelas, dilanjutkan dengan solusi yang diambil atau pilihan tindakan yang ditetapkan.
Identifikasi Masalah, berisi kajian berbagai permasalahan yang ditemukan di kelas yang dirumuskan menjadi tema-tema yang operasional.
Rumusan Masalah berisi masalah PTK yang telah dipilih, disajikan secara lugas dan jelas. Perumusan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan kalimat pertanyaan atau kalimat bentuk narasi. Rumusan masalah dapat dibagi sampai pada sub-sub masalah.
Tujuan Penelitian, menyatakan target penelitian yang akan dicapai. Banyaknya tujuan penelitian tidak harus sama dengan banyaknya masalah dalam rumusan masalah.
Manfaat Penelitian, menjelaskan manfaat temuan penelitian, baik yang bersifat teoretis maupun praktis.
Bab II
Kajian Teori
A. Landasan Teori
B. Penelitian yang Relevan
C. Kerangka Pikir
D. Perumusan Hipotesis Tindakan
Landasan Teori, berisi ringkasan dan tinjauan teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Misalnya, jika tindakan yang dipilih adalah menerapkan metode ”DIKSI” (diskusi, kolaborasi, dan aksi/lomba) pada pembelajaran membacakan puisi, teori yang harus dikaji adalah teori belajar sosial, cooperatif learning, pembelajaran kontekstual, kuantum learning, dan teori belajar yang menyenangkan. Landasan teori berfungsi sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan, dasar untuk mendapatkan jawaban yang diandalkan, dan sebagai alat yang membantu memecahkan masalah.
Penelitian yang Relevan, berisi penelitian terdahulu yang terkait dengan tindakan yang dipilih pada PTK. Penelitian yang relevan dikemukakan untuk menghindari duplikasi, mendukung atau menolak penelitian yang lalu, untuk mengembangkan teori baru, dan sebagai titik tolak dari penelitian yang dilakukan. Bagian ini pada beberapa lembaga tidak diharuskan ada.
Kerangka Pikir, berisi gambaran pola hubungan antara latar belakang dan teori-teori yang dikemukakan. Kerangka pikir juga merupakan kerangka konseptual yang akan digunakan untuk memecahkan masalah yang diteliti, disusun berdasarkan kajian teoretis yang telah dilakukan. Kerangka pikir merupakan pendapat dan pandangan penulis terhadap teori yang dikemukakan.
Perumusan Hipotesis Tindakan, berisi rumusan dugaan sementara terhadap permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu, hipotesis perlu dirumuskan secara singkat, lugas, dan jelas yang dinyatakan dalam kalimat bentuk pernyataan. Hipotesis dalam PTK merupakan keyakinan akan keberhasilan jika sebuah tindakan dilakukan.
Bab III
Metodologi Penelitian
A. Setting Penelitian
B. Prosedur Penelitian
C. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
D. Teknik Analisis Data
E. Kriteria Keberhasilan Tindakan
Setting Penelitian berisi tempat dan waktu PTK dilakukan, menjelaskan di kelas berapa, SMA mana, dan kapan penelitian dilakukan (misalnya semester 1 tahun 2006/2007).
Prosedur Penelitian berisi langkah-langkah PTK, yakni terdiri atas perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.
Teknik Pengumpulan data dan Instrumen Penelitian, menjelaskan semua alat pengumpul data yang digunakan, proses pengumpulan data, dan teknik penentuan kualitas instrumen.
Teknik Analisis Data, menjelaskan berbagai teknik analisis yang dipilih beserta alasannya. Misalnya teknik analisis data kuantitatif, yakni mendeskripsikan data, menafsirkan, dan menyimpulkan dengan pernyataan-pernyataan, bukan angka.
Kriteria Keberhasilan Tindakan berisi ukuran atau indikator yang ditetapkan untuk menentukan keberhasilan tindakan yang dilakukan.
Bab IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Kondisi Awal Pratindakan
2. Pelaksanaan Tindakan
a. Pelaksanaan Tindakan Siklus I
b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II
B. Pembahasan
Hasil Penelitian, berisi informasi awal kondisi siswa atau kelas sebelum dilakukan tindakan, misalnya bagaimana kemampuan siswa dalam membacakan puisi, minat dan motivasi belajar siswa pada materi puisi, metode yang selama ini diterapkan guru, dan sebagainya. Pelaksanaan tindakan masing-masing terdiri atas perencanaan, implementasi tindakan, observasi, dan refleksi. Perencanaan menjelaskan bagaimana guru merencanakan tindakan sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Pelaksanaan dijelaskan dengan bagaimana langkah-langah yang dilakukan guru dan siswa. Bagian observasi menjelaskan hasil observasi yang dinterpretasi sehingga ditentukan keberhasilan tindakan. Bagian refleksi berisi hal-hal yang belum tercapai/berhasil, mengapa demikian, dan apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya.
Pembahasan Hasil Penelitian berisi penafsiran dan pemaknaan terhadap semua hasil penelitian yang ada. Bab ini berisi jawaban terhadap permasalahan yang diajukan. Misalnya bagaimanakah peningkatan kualitas hasil belajar siswa setelah diterapkan metode X. Penjelasan dapat dipaparkan dengan tabel, grafik, dan sejenisnya agar lebih mudah dipahami dan dimaknai. Peneliti juga harus memberikan penafsiran untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana hasil-hasil penelitian itu terjadi.
Bab V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
B. Saran
Kesimpulan, menyimpulkan hasil penelitian secara tegas dan lugas sesuai dengan permasalahan penelitian (merupakan jawaban dari rumusan permasalahan yang diajukan).
Saran, didasarkan pada kesimpulan penelitian yang diperoleh, dijabarkan secara terinci, bersifat operasional dan mudah dimengerti.
F. Penutup
Dalam melaksanakan PTK, guru bekerja sama dengan kolaborator mulai dari proses mengidentifikasi masalah, merencanakan tindakan, melaksanakan tindakan, observasi, dan refleksi. Kolaborator dapat ditentukan dari teman sejawat yang mengampu pelajaran yang sama atau serumpun, dapat dari sekolah sendiri maupun sekolah lain.
Laporan PTK merupakan bentuk pertanggungjawaban peneliti terhadap ilmu yang digelutinya, juga terhadap lembaga yang membiayainya. Oleh karena itu, seorang guru yang telah melakukan PTK, tetapi tidak menulis laporan dapat diartikan kurang bertanggung jawab terhadap tugas profesinya.
Penelitian tindakan kelas dapat dikatakan sebagai upaya guru untuk memperbaiki kekurangan, memecahkan permasalahan riil yang terjadi pada praktik pembelajaran di kelas. PTK sama sekali tidak menggangu proses pembelajaran. Sebaliknya, dengan PTK justru pencapaian kompetensi siswa akan dapat terlaksana. Dengan PTK, kualitas pembelajaran siswa meningkat, kemampuan profesi guru dalam hal meneliti juga meningkat. Dengan meningkatnya kemampuan profesi guru, semoga akan meningkat pula harkat, martabat, dan kesejahteraan guru. Selamat ber-PTK.
DAFTAR PUSTAKA
Leo Idra Ardiana. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdiknas, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.
Mc Niff, Jean. 1988. Action Research: Principles and Practice. Great Britain: Mackays of Chatham.
Sukamto. 2000. Pedoman Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Tinggi
Yoko Rimy. 2006. Penelitian Tindakan Kelas (Makalah). Yogyakarta: LPMP.
PERATURAN PEMENRINTAH NO 55
2007
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
3. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
4. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
5. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
6. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
7. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
8. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
9. Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama.
10. Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
12. Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pasal 3
(1) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(2) Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
(5) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik.
(6) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
(7) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6
(1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Pasal 7
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan oleh pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan daerah yang mengembangkannya setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta tentang pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
Pasal 10
(1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama.
(2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
(2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama.
Pasal 13
(1) Pendidikan keagamaan dapat berbentuk satuan atau program pendidikan.
(2) Pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
f. manajemen dan proses pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang atau lebih merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Bagian Kesatu
Pendidikan Keagamaan Islam
Pasal 14
(1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Paragraf 1
Pendidikan Diniyah Formal
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
(3) Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
Paragraf 2
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 21
(1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan.
(3) Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22
(1) Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
(2) Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 23
(1) Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia.
(3) Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 24
(1) Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur’an.
(2) Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
(4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat.
(5) Kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
(6) Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Qur’an.
Pasal 25
(1) Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT.
(2) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(4) Penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara.
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Paragraf 3
Pesantren
Pasal 26
(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Kristen
Pasal 27
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 28
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 29
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK) dan Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK).
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat.
(4) Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh Pemerintah, gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(5) Kurikulum SMAK dan SMTK memuat bahan kajian tentang agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan kewenangan gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
Pasal 30
(1) Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan oleh gereja dan atau lembaga keagamaan Kristen.
(2) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3) STAK, STT atau bentuk lain yang sejenis dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(4) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Isi/materi kurikulum menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(6) Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMA atau yang sederajat.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Katolik
Pasal 31
(1) Pendidikan keagamaan Katolik diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur formal dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 32
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 33
(1) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah merupakan Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) atau yang sederajat yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan menengah keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat.
Pasal 35
(1) Kurikulum pendidikan keagamaan Katolik memuat bahan kajian tentang agama Katolik dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan wewenang gereja Katolik dan/atau Uskup.
Pasal 36
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dilakukan oleh gereja Katolik/keuskupan.
Pasal 37
(1) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari Menteri Agama.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi atau bentuk lain yang sejenis dan sederajat.
(4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan hak penyelenggara yang bersangkutan.
(5) Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja Katolik.
(6) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan tinggi keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMA atau sederajat.
Bagian Keempat
Pendidikan Keagamaan Hindu
Pasal 38
(1) Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal, dan nonformal.
(4) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal setingkat TK disebut Pratama Widya Pasraman, yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B).
(5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SD disebut Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat.
(6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(7) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat SMA disebut Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Pratama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(2) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Madyama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Adi Widya Pasraman atau yang sederajat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Utama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Madyama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(4) Pendidikan Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat selama 6 (enam) tahun, pendidikan Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun, dan pendidikan Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun.
(5) Peserta didik (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma.
(6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan membekali peserta didik (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai dengan kurikulum.
Pasal 40
(1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
(2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan ketentuan tentang pendidikan tinggi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41
(1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan dalam bentuk Pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal merupakan kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhakti peserta didik.
(3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat, diselenggarakan oleh lembaga sosial dan tradisional keagamaan Hindu, dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi syarat.
(4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal didaftarkan keberadaannya kepada Menteri Agama.
Bagian Kelima
Pendidikan Keagamaan Buddha
Pasal 42
(1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 43
(1) Pabbajja Samanera merupakan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samanera, samaneri, silacarini, buddhasiswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan.
(2) Pabbajja Samanera bertujuan untuk menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimanan umat Buddha.
(3) Pabbajja Samanera dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) minggu.
(4) Peserta didik Pabbajja Samanera meliputi anak-anak, remaja, dan dewasa.
(5) Kurikulum Pabbajja Samanera meliputi riwayat hidup Buddha Gotama, etika samanera, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra, meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
(6) Pendidik pada Pabbajja Samanera mencakup para Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Pasal 44
(1) Sekolah Minggu Buddha merupakan kegiatan belajar mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu secara rutin.
(2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan saddha/sraddha dan bhakti peserta didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan.
(3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(4) Sekolah Minggu Buddha merupakan pelengkap atau bagian dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal.
(5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
(6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samanera/Sramanera, Samaneri/Sramaneri, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Bagian Keenam
Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Pasal 45
(1) Pendidikan keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Khonghucu berbentuk program Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis.
(3) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Khonghucu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 46
(1) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci merupakan kegiatan belajar-mengajar nonformal yang dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan Klenteng, yang dilaksanakan setiap minggu dan tanggal 1 serta 15 penanggalan lunar.
(2) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci bertujuan untuk menanamkan keimanan dan budi pekerti peserta didik.
(3) Kurikulum Sekolah Minggu Khonghucu memuat bahan kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu, Mengzi, Yijing, Shujing, Liji, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci Agama Khonghucu, serta Tata Agama/Peribadahan Khonghucu.
(4) Tenaga Pendidik pada pendidikan keagamaan Khonghucu mencakup Jiaosheng, Wenshi, Xueshi, Zhanglao atau yang mempunyai kompetensi.
Pasal 47
Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu adalah pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan di Shuyuan atau lembaga pendidikan lainnya dan oleh yayasan yang bergerak dalam pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
Seluruh satuan pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang ada pada saat diberlakukan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 51
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Republik Indonesia
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Kurikulum pendidikan agama bagi peserta didik yang beragama berbeda dengan kekhasan agama satuan pendidikan menggunakan kurikulum pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kerjasama tentang penyelenggaraan pendidikan agama dengan penyelenggara pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Beberapa satuan pendidikan dapat bekerjasama menyediakan pendidik pendidikan agama.
Ayat (2)
Dalam hal penyediaan pendidik pendidikan agama tidak dapat dilakukan oleh setiap atau beberapa satuan pendidikan, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama dengan menggabungkan para peserta didik seagama dari beberapa satuan pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pemerintah/pemerintah daerah wajib menyalurkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke satuan pendidikan lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterampilan mencakup pola-pola pendidikan yang dikembangkan pada jenis pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan kecakapan/keahlian lainnya.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.
Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam meliputi ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah), atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum dan keterampilan.
Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) dapat menggunakan klasifikasi tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pendidik/satuan pendidikan dapat menggabungkan berbagai muatan pendidikan menjadi satu mata pelajaran atau lebih dalam kurikulum.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had ‘Aly.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pengajian kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Al Quran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum dipakai masyarakat adalah madrasah diniyah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4769
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2727);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
3. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
4. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
5. Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
6. Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
7. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
8. Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
9. Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama.
10. Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
12. Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
PENDIDIKAN AGAMA
Pasal 2
(1) Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
(2) Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pasal 3
(1) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(2) Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
(5) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik.
(6) Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
(7) Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6
(1) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Pasal 7
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan oleh pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan daerah yang mengembangkannya setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta tentang pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2) Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
Pasal 10
(1) Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama.
(2) Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
Pasal 11
(1) Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
(2) Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2) Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama.
Pasal 13
(1) Pendidikan keagamaan dapat berbentuk satuan atau program pendidikan.
(2) Pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
f. manajemen dan proses pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang atau lebih merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Bagian Kesatu
Pendidikan Keagamaan Islam
Pasal 14
(1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Paragraf 1
Pendidikan Diniyah Formal
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 20
(1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.
(2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.
(3) Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).
(4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
Paragraf 2
Pendidikan Diniyah Nonformal
Pasal 21
(1) Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan.
(3) Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Pasal 22
(1) Pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.
(2) Penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Pengajian kitab dilaksanakan di pondok pesantren, masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 23
(1) Majelis Taklim atau nama lain yang sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
(2) Kurikulum Majelis Taklim bersifat terbuka dengan mengacu pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia.
(3) Majelis Taklim dilaksanakan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 24
(1) Pendidikan Al-Qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al Qur’an.
(2) Pendidikan Al-Qur’an terdiri dari Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
(3) Pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
(4) Penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau ditempat lain yang memenuhi syarat.
(5) Kurikulum pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
(6) Pendidik pada pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil dan menguasai teknik pengajaran Al-Qur’an.
Pasal 25
(1) Diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT.
(2) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(3) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
(4) Penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan penyelenggara.
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Paragraf 3
Pesantren
Pasal 26
(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pendidikan Keagamaan Kristen
Pasal 27
(1) Pendidikan keagamaan Kristen diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 28
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Kristen jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 29
(1) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK) dan Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK).
(2) Pendidikan keagamaan Kristen jenjang pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK) dan Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) atau yang sederajat, yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan menengah keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat.
(4) Pengelolaan SMAK dan SMTK diselenggarakan oleh Pemerintah, gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(5) Kurikulum SMAK dan SMTK memuat bahan kajian tentang agama/teologi Kristen dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(6) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan kewenangan gereja dan/atau kelembagaan Kristen.
Pasal 30
(1) Pendidikan tinggi keagamaan Kristen diselenggarakan oleh gereja dan atau lembaga keagamaan Kristen.
(2) Pendidikan keagamaan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau bentuk lain yang sejenis.
(3) STAK, STT atau bentuk lain yang sejenis dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(4) Penamaan satuan jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Isi/materi kurikulum menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Kristen/Teologi jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja dan/atau lembaga keagamaan Kristen.
(6) Untuk dapat diterima sebagai mahasiswa pada pendidikan tinggi keagamaan Kristen seseorang harus berijazah SMA atau yang sederajat.
Bagian Ketiga
Pendidikan Keagamaan Katolik
Pasal 31
(1) Pendidikan keagamaan Katolik diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur pendidikan formal diselenggarakan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik pada jalur formal dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 32
Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 33
(1) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah merupakan Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) atau yang sederajat yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dibina oleh Menteri Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan menengah keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMP atau yang sederajat.
Pasal 35
(1) Kurikulum pendidikan keagamaan Katolik memuat bahan kajian tentang agama Katolik dan kajian lainnya pada jenjang menengah.
(2) Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan wewenang gereja Katolik dan/atau Uskup.
Pasal 36
Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Katolik tingkat menengah dilakukan oleh gereja Katolik/keuskupan.
Pasal 37
(1) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan oleh gereja Katolik/keuskupan.
(2) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan satuan pendidikan tinggi keagamaan yang mendapat ijin dari Menteri Agama.
(3) Pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Tinggi Pastoral/Kateketik/Teologi atau bentuk lain yang sejenis dan sederajat.
(4) Penamaan satuan pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan hak penyelenggara yang bersangkutan.
(5) Isi dan/atau materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral pendidikan keagamaan Katolik jenjang pendidikan tinggi merupakan kewenangan gereja Katolik.
(6) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pada pendidikan tinggi keagamaan Katolik seseorang harus berijazah SMA atau sederajat.
Bagian Keempat
Pendidikan Keagamaan Hindu
Pasal 38
(1) Pendidikan keagamaan Hindu merupakan pendidikan berbasis masyarakat yang diselenggarakan dalam bentuk Pasraman, Pesantian, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Hindu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal, dan nonformal.
(4) Pendidikan Pasraman diselenggarakan pada jalur formal setingkat TK disebut Pratama Widya Pasraman, yaitu tingkat Pratama Widya Pasraman A (TK A) dan tingkat Pratama Widya Pasraman B (TK B).
(5) Pendidikan pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SD disebut Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat.
(6) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan dasar setingkat SMP disebut Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(7) Pendidikan Pasraman pada jalur formal jenjang pendidikan menengah setingkat SMA disebut Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Adi Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Pratama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(2) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Madyama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Adi Widya Pasraman atau yang sederajat.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik (Brahmacari) Utama Widya Pasraman, seseorang harus berijazah Madyama Widya Pasraman atau yang sederajat.
(4) Pendidikan Adi Widya Pasraman terdiri atas 6 (enam) tingkat selama 6 (enam) tahun, pendidikan Madyama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun, dan pendidikan Utama Widya Pasraman terdiri atas 3 (tiga) tingkat selama 3 (tiga) tahun.
(5) Peserta didik (Brahmacari) pada pendidikan Pasraman berkewajiban melaksanakan warna asrama dharma.
(6) Acarya atau pendidik membimbing, menuntun, dan membekali peserta didik (Brahmacari) dengan pengetahuan agama lainnya sesuai dengan kurikulum.
Pasal 40
(1) Maha Widya Pasraman atau pendidikan keagamaan tinggi Hindu, diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
(2) Penamaan satuan jenjang Maha Widya Pasraman yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan hak penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Maha Widya Pasraman diselenggarakan sesuai dengan ketentuan tentang pendidikan tinggi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41
(1) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal dilaksanakan dalam bentuk Pesantian, sad dharma yaitu dharmatulla, dharma sadhana, dharma wacana, dharma yatra, dharma gita, dharma santi atau dalam bentuk lain yang sejenis.
(2) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal merupakan kegiatan pendidikan keagamaan Hindu secara berjenjang atau tidak berjenjang bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah formal dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhakti peserta didik.
(3) Penyelenggaraan pendidikan keagamaan Hindu nonformal sebagai kegiatan pendidikan keagamaan Hindu berbasis masyarakat, diselenggarakan oleh lembaga sosial dan tradisional keagamaan Hindu, dilaksanakan di lingkungan tempat ibadah, balai adat, dan tempat lainnya yang memenuhi syarat.
(4) Pendidikan keagamaan Hindu nonformal didaftarkan keberadaannya kepada Menteri Agama.
Bagian Kelima
Pendidikan Keagamaan Buddha
Pasal 42
(1) Pendidikan keagamaan Buddha diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan nonformal dalam bentuk program Sekolah Minggu Buddha, Pabbajja Samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Buddha dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 43
(1) Pabbajja Samanera merupakan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sangha atau Majelis Keagamaan Buddha bertempat di Vihara/Cetiya yang diperuntukkan khusus bagi samanera, samaneri, silacarini, buddhasiswa, dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan.
(2) Pabbajja Samanera bertujuan untuk menanamkan disiplin pertapaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha dalam meningkatkan kualitas keimanan umat Buddha.
(3) Pabbajja Samanera dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) minggu.
(4) Peserta didik Pabbajja Samanera meliputi anak-anak, remaja, dan dewasa.
(5) Kurikulum Pabbajja Samanera meliputi riwayat hidup Buddha Gotama, etika samanera, pokok-pokok dasar agama Buddha, paritta/mantra, meditasi, kedharmadutaan, dan materi penting terkait lainnya.
(6) Pendidik pada Pabbajja Samanera mencakup para Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Pasal 44
(1) Sekolah Minggu Buddha merupakan kegiatan belajar mengajar nonformal yang dilaksanakan di Vihara atau Cetya setiap hari Minggu secara rutin.
(2) Sekolah Minggu Buddha bertujuan untuk menanamkan saddha/sraddha dan bhakti peserta didik dalam rangka meningkatkan keimanan umat Buddha secara berkesinambungan.
(3) Sekolah Minggu Buddha diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
(4) Sekolah Minggu Buddha merupakan pelengkap atau bagian dari pendidikan agama pada satuan pendidikan formal.
(5) Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
(6) Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samanera/Sramanera, Samaneri/Sramaneri, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
Bagian Keenam
Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Pasal 45
(1) Pendidikan keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(2) Pendidikan keagamaan Khonghucu berbentuk program Sekolah Minggu, Diskusi Pendalaman Kitab Suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu, atau bentuk lain yang sejenis.
(3) Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan Khonghucu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 46
(1) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci merupakan kegiatan belajar-mengajar nonformal yang dilaksanakan di Xuetang, Litang, Miao dan Klenteng, yang dilaksanakan setiap minggu dan tanggal 1 serta 15 penanggalan lunar.
(2) Sekolah Minggu Khonghucu dan Diskusi Pendalaman Kitab Suci bertujuan untuk menanamkan keimanan dan budi pekerti peserta didik.
(3) Kurikulum Sekolah Minggu Khonghucu memuat bahan kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu, Mengzi, Yijing, Shujing, Liji, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci Agama Khonghucu, serta Tata Agama/Peribadahan Khonghucu.
(4) Tenaga Pendidik pada pendidikan keagamaan Khonghucu mencakup Jiaosheng, Wenshi, Xueshi, Zhanglao atau yang mempunyai kompetensi.
Pasal 47
Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu adalah pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan di Shuyuan atau lembaga pendidikan lainnya dan oleh yayasan yang bergerak dalam pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 48
Seluruh satuan pendidikan, program, dan kegiatan pendidikan keagamaan diselenggarakan dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang ada pada saat diberlakukan Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 51
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Republik Indonesia
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 124
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran /kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu pertama, untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; kedua, dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; ketiga, pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.
Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat belajar, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Dalam kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar satuan pendidikan keagamaan. Sebagai komponen Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Kurikulum pendidikan agama bagi peserta didik yang beragama berbeda dengan kekhasan agama satuan pendidikan menggunakan kurikulum pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kerjasama tentang penyelenggaraan pendidikan agama dengan penyelenggara pendidikan agama di masyarakat memperhatikan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Beberapa satuan pendidikan dapat bekerjasama menyediakan pendidik pendidikan agama.
Ayat (2)
Dalam hal penyediaan pendidik pendidikan agama tidak dapat dilakukan oleh setiap atau beberapa satuan pendidikan, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan agama dengan menggabungkan para peserta didik seagama dari beberapa satuan pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pemerintah/pemerintah daerah wajib menyalurkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang ditutup ke satuan pendidikan lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterampilan mencakup pola-pola pendidikan yang dikembangkan pada jenis pendidikan kejuruan, vokasi, dan pendidikan kecakapan/keahlian lainnya.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.
Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam meliputi ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah), atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum dan keterampilan.
Ilmu agama Islam (dirasah Islamiyah) dapat menggunakan klasifikasi tema: aqidah, tafsir, hadis, usul fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pendidik/satuan pendidikan dapat menggabungkan berbagai muatan pendidikan menjadi satu mata pelajaran atau lebih dalam kurikulum.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi antara lain Ma’had ‘Aly.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pengajian kitab di dalam pesantren diselenggarakan untuk mengkaji kandungan Al Quran dan As sunnah dan pemahaman transformatif atas kitab-kitab salaf (kitab kuning) dan kholaf (modern).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penamaan “diniyah takmiliyah” yang umum dipakai masyarakat adalah madrasah diniyah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4769
Langganan:
Postingan (Atom)